Senin, 25 Februari 2008

Menggagas Konsep Ritel Syari'ah

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Bisnis ritel sebenarnya sudah dimulai sejak belum ditemukannya alat pembayaran. Pada masa itu aktivitas ritel telah muncul dengan pola barter- tukar menukar barang. Di era modern, tepatnya pada abad ke 17, toko serba ada modern telah beroperasi di Jepang. Perkembangan berikutnya tepatnya di abad 19 toko serba ada yang besar dibangun di kota-kota di Amerika Serikat, antara lain, Sears, Montgomery Ward, dan JC Penney’s. Setelah perang Dunia II, pelaku bisnis ritel besar bermunculan di Amerika Serikat, seperti K-mart, Target, dan Wal mart dengan moto harga rendah, penjualan tinggi.

Apabila dilihat perjalanannya, bisnis ritel merupakan bisnis yang tua dan sangat cepat mengalami pertumbuhan. Untuk menyebutnya sebagai contoh misalnya bahwa dalam kurun waktu tiga tahun belakangan ini, pertumbuhan pasar dan toko di Indonesia sangat tinggi, bahkan tertinggi di antara negara-negara di Asia Tenggara. Penyebabnya, jumlah penduduk yang besar serta mulai membaiknya pertumbuhan ekonomi dan indeks kepercayaan konsumen. Namun di sisi lain ternyata kehadiran ritel modern terus mengancam keberadaan ritel tradisional. Ini terlihat dari berkurangnya pasar ritel tradisional di kisaran 2%-5% yang terjadi setiap tahun. Periode sampai tahun 2007, komposisi ritel tradisional dengan ritel modern, 65% banding 35%. Sedangkan kontribusi sektor perdagangan terhadap produk domestik bruto (PDRB) mencapai 20%-25%. Sementara dari pertumbuhan sales ritel di 2007, mencapai 17% dengan volume sebesar Rp 58,5 trilyun. Di 2008 ini, ditargetkan pertumbuhan sales ritel 15% dari tahun 2007. Melihat sektor perdagangan yang cukup besar ke PDRB tersebut, perlu dukungan pemerintah untuk memperkuat ritel tradisional.

Di tengah semakin berkurangnya pasar tradisionil tersebut pada tanggal 17 Desember 2007 lalu PT Carrefour Indonesia menandatangani nota kesepahaman dengan pemegang saham utama Alfa, PT Sigmantara Alfindo dan Prime Horizon Pte Ltd. Selanjutnya Carrefour akan memulai negosiasi untuk memiliki 75 persen saham Alfa. Akuisisi Alfa oleh Carrefour dikhawatirkan tidak hanya akan menggusur pasar tradisional, tapi juga peritel moderen lokal. Sebab, dengan akuisisi itu, Carrefour dapat ekspansi dalam bentuk minimarket yang hanya boleh dimiliki pemain lokal. Kalau akuisisi itu terjadi, maka lengkap dan sempurnalah asing menjajah Indonesia, ujar Ketua Asosiasi Pengusaha Pemasok Pasar Modern Indonesia Susanto pada Tempo, Rabu (2/1) di Jakarta. Pasalnya, menurut dia, ritel sebagai sektor yang sangat krusial karena menyangkut hajat hidup orang banyak. "Jika sektor ini sudah dikuasai asing, bahkan dalam bentuk terkecil yang terdekat dengan masyarakat, maka asing bisa menentukan mulai dari jenis hingga harga dari produk yang banyak dikonsumsi masyarakat," kata Susanto.

Pengelolaan bisnis ritel dengan format pasar modern semacam Carrefour memang memberikan alternatif belanja yang menarik bagi konsumen. Selain menawarkan kenyamanan dan kualitas produk, harga yang ditawarkan juga cukup bersaing dibandingkan dengan pasar tradisional, hal ini dimungkinkan mengingat besarnya kemampuan modal para peritel modern tersebut. Dengan skala ekonomi yang lebih besar, pasar modern dapat mempersempit jalur distribusi sehingga mampu menawarkan harga yang jauh lebih kompetitif kepada konsumen. Keadaan ini jelas menjadi permasalahan dan membuat risau para pedagang skala kecil.

Permasalahan lain yang timbul adalah dominasi peritel modern terhadap pemasok, terutama pemasok dalam skala Usaha Kecil Menengah (UKM). Masalah ini seringkali dilontarkan pelaku usaha UKM karena ketidakmampuannya untuk melakukan negosiasi dengan pelaku usaha ritel besar yang mempunyai format ritel yang beragam. Isu ini terus berkembang sebagai akibat lemahnya posisi tawar dari pemasok terhadap peritel besar sehingga mengakibatkan perilaku tidak adil kepada pemasok (abuse of dominant position).

Penguasaan modal maupun jalur distribusi yang kuat yang dimiliki peritel besar dapat mempengaruhi kegiatan pesaingnya (secara horizontal) maupun supplier/agen (secara vertical). Dalam bisnis ini terdapat biaya yang diperlakukan oleh perusahaan pengecer modern seperti : kondisi diskon, opening fee, listing fee, rabate/rabat, dan biaya promosi yang nilainya harus dinegosiasikan antar perusahaan pemasok dan perusahaan pengecer modern, atau apabila sebelumnya perusahaan pemasok telah menjual produknya kepada perusahaan peritel lain, maka yang terjadi, produk perusahaan pemasok bisa dikeluarkan dari perusahaan pengecer modern.

Berbagai permasalahan di atas memerlukan regulasi yang tepat sehingga diharapkan akan mampu mengatasi berbagai dampak dari perkembangan dari sektor ritel itu sendiri. Pada saat ini yang terjadi justru berbagai bentuk regulasi yang ada belum dapat mengantisipasi kompleksnya permasalahan yang timbul.

Namun menurut hemat penulis persoalannya sebenarnya tidak hanya terletak pada regulasi apalagi mengingat enforcement of law di negeri ini masih tergolong rendah. Jika kita telisik lebih dalam pokok pangkalnya terletak pada sistem nilai yang menjadi fondasi bangunan entitas bisnis tersebut. Jika sistem nilainya adalah kapitalisme maka produk turunannya akan menciptakan realitas materialistic dan individualistic. Kalau sudah demikian maka menjadi wajarlah jika timbul permasalahan-permasalahan sebagai tersebut di atas. Di sinilah letak benang merah perlunya segera menggagas konsep ritel yang berdasarkan syari’ah. Mengapa demikian ? Karena Islam tidak pernah memisahkan ekonomi dan etika, sebagaimana juga tidak memisahkan antara pertumbuhan dan distribusi/keadilan.

B. Permasalahan

Sebagaimana uraian terdahulu bahwa permasalahan di atas sebenarnya tidak melulu berkisar pada persoalan regulasi tetapi berpokok pangkal pada sistem nilai yang membentuk realitas permasalahan tersebut. Yang menjadi permasalahan yang akan kita hadapi sekarang adalah bagaimana membangun konsep dan praktek Ritel Syariah. Untuk menjawab hal itu maka dekonstruksi ritel kapitalis untuk rekonstruksi konsep ritel syariah mutlak perlu. Pada tahap awal dapat dimulai dari pendekatan normatif yaitu dengan mengumpulkan dan menyusun konsep ritel syariah yang bisa dimulai dari membangun landasan etik ritel syariah. Secara berkembang terus dilengkapi dengan pendekatan empiris, positif, induktif. Kalau pendekatan empiris yang kita harapkan untuk melakukan dekonstruksi sebenarnya lahan percobaannya sudah ada yaitu dengan berdirinya Super Market Madinah Syariah yang terletak di Plaza Millenium Jalan Kapten Muslim nomor 111 Medan. Dua pendekatan di atas “deconstruction” dan “reconstruction” sebenarnya komplementer untuk mewujudkan konsep ritel syariah

Mengingat pentingnya topik ini maka permasalahan pokok yang akan diangkat sebagai kajian utama adalah bagaimana konsep dalam membangun bisnis ritel secara syari’ah. Kemudian timbul permasalahan lain : Apakah konsep ritel syariah ini akan dapat memenuhi kebutuhan masyarakat yang nota bene telah dibentuk oleh sistem nilai kapitalistik ? Untuk mendapatkan jawaban yang memadai dalam keterbatasan yang ada, maka diperlukan penjabaran dalam bentuk sub-sub masalah sebagai berikut :

1. Dasar-dasar Kode Etik Islami Bagi Para Pelaku Bisnis.

2. Norma dan Etika di dalam Ritel Syariah.

3. Potensi dan peluang Ritel Syari’ah

C. Metodologi

1. Sumber penelitian

Data yang diambil untuk makalah ini diambil dengan metode Library Research. Penulis mengkaji beberapa literatur yang relevan dengan judul makalah ini.

2. Metode Analisis

Metode yang dipilih dalam melakukan analisis terhadap data yang diperoleh adalah menggunakan metode deskriptif. Menurut Witheney, penelitian deskriptif akan mempelajari masalah-masalah dalam masyarakat, tata cara yang berlaku dalam masyarakat, serta situasi-situasi tertentu termasuk hubungan kegiatan-kegiatan, sikap-sikap pandangan-pandangan serta proses-proses yang sedang berlangsung dan pengaruh-pengaruh dari suatu fenomena. Makalah ini akan mengembangkan suatu frame work analitik-sistematik yang berisi nilai-nilai etis Islam yang bisa digunakan sebagai dasar dalam melakukan deduksi logis terhadap pedoman beroperasinya bisnis ritel secara syariah.

BAB II

PEMBAHASAN

Dialektika dunia bisnis akan senantiasa berinteraksi dengan sistem sosial yang melingkupinya yang sangat kompleks dengan melibatkan tidak saja teori-teori ekonomi-bisnis rasional dari yang bercorak sosial sampai yang bercorak liberal-kapitalis, tetapi juga individu-individu manusia yang heterogen dan dinamis yang terlibat baik secara langsung atau tidak dalam kegiatan bisnis. Interaksi ini tidak lain merupakan jaringan-jaringan sistem yang sedang diterapkan, di mana baik interaksi maupun jaringan-jaringan sistem tersebut mengikat manusia dalam gerak dan pola yang dimiliki oleh sistem yang bersangkutan.

Sistem, beserta jaringan-jaringannya, adalah produk manusia dan masyarakatnya. Secara ontologis, ini memberikan pengertian kepada kita bahwa sistem tersebut dibangun berdasarkan atas nilai-nilai yang dimiliki oleh manusia yang membangunnya. Ketika, misalnya, sebuah sistem dibangun berdasarkan pada nilai-nilai kapitalisme, maka sistem tersebut, ketika dipraktikkan, akan menjaring setiap individu yang ada dalam masyarakat yang bersangkutan kepada realitas kapitalis ; demikian juga bila sistem tersebut dibangun dengan nilai-nilai yang lain.

Dalam bisnis ritel yang dikembangkan saat ini, kita melihat bahwa sistem nilai yang dipakai adalah sistem kapitalis sehingga realitas yang dihasilkannya adalah realitas kapitalis. Tidak dapat dipungkuri bahwa cengkraman sistem nilai kapitalis ini telah banyak menimbulkan kerusakan. Hal ini sangat mudah dipahami karena pondasi utama dari sistem ini adalah nilai-nilai materialisme yang mendorong manusia untuk menempatkan materi sebagai ukuran dan tujuan. Akibatnya sistem nilai ini menggerus nilai-nilai fitrah manusia dan menggantikannya dengan sifat-sifat hewan bahkan lebih keji dari hewan sebagaimana Allah SWT berfirman :

Dan sesungguhnya Kami jadikan untuk isi nereka Jahannam kebanyakan dari jin dan manusia, mereka mempunyai hati, tetapi tidak dipergukan untuk memahami (ayat-ayat Allah) dan mereka mempunyai mata (tetapi) tidak dipergunakannya untuk melihat (tanda-tanda kekuasaan Allah), dan mereka mempunyai telinga (tetapi) tidak dipergunakannya untuk mendengar (ayat-ayat Allah). Mereka itu sebagai binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat lagi. Meraka itulah orang-orang yang lalai. (QS. 7:179)

Sifat-sifat kehewanan inilah yang mendorong manusia berlaku tamak sehingga realitas bisnis yang dijalankannya tidak lagi memikirkan kemaslahatan hajat hidup orang banyak. Contoh permasalahan-permasalahan yang diangkat dalam bab latar belakang makalah ini merupakan sekelumit produk turunan dari sistem kapitalis tersebut. Tidak ada jalan keluar lain dalam mengatasi permasalahan tersebut kecuali dengan menghadirkan kembali fitrah manusia.

Sehubungan dengan hal tersebut pada bagian ini penulis mencoba mencari sistem nilai etika yang sesuai dengan fitrah manusia dan meletakkannya menjadi dasar-dasar kode etik Islam dalam menjalankan bisnis ritel syari’ah. Perumusan kode etik ini sekaligus dapat disebut sebagai mendekonstruksi praktek ritel konvensional yang berlaku saat ini.


1. DASAR-DASAR KODE ETIK ISLAMI BAGI PARA PELAKU BISNIS.

Pertama: Penamaan Dan Makna Kode Etik Islami Bagi Para Pelaku Bisnis

Mitsaq secara bahasa berarti perjanjian, perserikatan, janji setia, dan kesetiaan. Hal ini digambarkan dengan firman Allah,

"Dan ingatlah akan karunia Allah kepadamu dan perjanjiannya yang telah diikatkanNya dengan kamu" (QS. al-Maidah : 7)

"Yaitu orang-orang yang memenuhi janji Allah dan merusak perjanjian." (QS. al-Ra'd : 20)

Kaum muslim generasi pertama telah bersumpah untuk mematuhi kewajiban-kewajiban dalam Islam dengan memberi perjanjian dan sumpah setia (bai'ah). Terkait dengan hal ini maka yang dimaksud dengan kode etik islami adalah, perjanjian yang diambil oleh para pelaku bisnis terhadap dirinya sendiri mengenai sejumlah etika, contohnya etika hukum, etika moral, etika prilaku, etika seni, dan lain-lain, yang berlaku sebagai petunjuk dalam berbisnis; dan menjadi sebuah standar dalam mengevaluasi bisnis yang dijalankan dan juga dalam menetapkan hukum ketika terjadi kelalaian atau pelanggaran.

Tema etika dalam kode ini biasanya berarti bentuk prinsip-prinsip dan harapan yang harus ditaati para pelaku bisnis dalam bertransaksi, bertingkah laku, dan dalam menjalin hubungan bisnis agar dapat mencapai tujuan. Beberapa hal penting dalam kode etik ini adalah:

1. Berasal dari sumber-sumber asli syariat dan sesuai dengan firman Allah.

2. Menggunakan asas komprehensivitas (syumuliyah) yang memberi perhatian terhadap semua jenis etika, baik itu moral, seni, atau abstrak.

3. Fokus utamanya adalah sektor bisnis dan tidak menutup kemungkinan untuk dapat diterapkan pada sektor-sektor lain.

4. Kode etik ini dapat pula diaplikasikan kepada semua pengusaha tanpa diskriminasi agama, ras, atau etnik, selama itu masih selaras dengan nilai-nilai kemanusiaan.

Kedua: Sasaran Kode Etik Islami Bagi Para Pelaku Bisnis

Kode etik Islami bagi para pelaku bisnis memiliki beberapa sasaran utama:

  1. Membentuk kaidah Islam yang mengatur, mengem­bangkan dan memperlihatkan metode-metode bisnis yang disesuaikan dengan bingkai agama.
  2. Kode ini merupakan tolok ukur dalam menentukan tanggung jawab para pelaku bisnis di depan diri sendiri, dalam kalangan komunitas bisnis dan masyarakat mereka, terlebih-lebih di depan Tuhan.
  3. Diletakkan sebagai hukum yang mengatur para pihak, sebagai pengganti hukum pengadilan yang mungkin saja bertentangan dengan hukum Allah.
  4. Kode etik tersebut digunakan untuk turut memecahkan beberapa masalah para pelaku bisnis dan pengusaha terutama berkaitan dengan dunia ekonomi yang dijalankan. Selanjutnya, kode ini juga akan memperkuat ikatan persaudaraan dan kerjasama di antara mereka.
  5. Kode tersebut akan membantu mengembangkan pendidikan dan pelatihan serta seminar-seminar yang melibatkan para pelaku bisnis.
  6. Kode tersebut akan menunjukkan ke seluruh dunia suatu tatanan dan budaya islami, serta akan mewarnai syumuliah dan kemurnian pemikiran Islam.

Ketiga: Prinsip-Prinsip Yang Dikembangkan dalam Kode Etik Islami bagi Para Pelaku Bisnis

Pada pokok persoalannya, kode etik ini bergantung kepada sekumpulan prinsip-prinsip umum. Prinsip-prinsip tersebut disandarkan pada kitab-kitab ushul fiqh umumnya dan pada kitab-kitab Fiqh al-Muamalat khususnya. Prinsip-prinsip tersebut ialah:[12]

1. Diarahkan untuk memenuhi tujuan syariat Islam yang digambarkan sebagai pemeliharaan agama seseorang, dirinya, anak-anak, jiwa dan hartanya.

2. Mengacu kepada ketentuan yang tertuang dalam Al-Quran yang mengandung prinsip-prinsip umum yang dirinci dalam sunnah. Kemudian dilanjutkan oleh sahabat yang melakukan Ijtihad (untuk menyelesaikan masalah), apabila tidak ada dalam al-Quran dan hadits yang menjelaskan tentang permasalahan tersebut.

3. Tidak diperbolehkan mengurangi aturan-aturan syariat, sehingga dapat dicampurkan dengan konsep-konsep kontemporer dan teori-teori yang tidak sesuai dengan sumbernya.

4. Transaksi tidak boleh menimbulkan hilangnya hak, kelalaian akan tugas atau menentang ketentuan Allah.

5. Semua kesepakatan dan transaksi bisnis, kecuali yang dilarang dalam teks al-Quran atau sunnah, diperbolehkan selama membawa maslahat.

6. Kesepakatan-kesepakatan yang menyebabkan hilangnya hak milik orang lain secara tidak adil dan membawa kepada kecurangan adalah tidak sah.

7. Jika bukti-bukti, dalam kondisi tertentu, cenderung meragukan atau hanya merupakan kemungkinan belaka, maka itu menjadi tidak sah. Dengan kata lain, hal itu tidak dapat dijadikan sandaran dalam menetapkan hukum yang sah dan yang dilarang.

8. Hati-hati dirugikan oleh orang lain atau membuat orang lain menderita. Jika dihadapkan oleh dua situasi yang membawa kemudharatan, maka kita harus memilih yang paling sedikit menimbulkan kemudharatan. Bahaya seseorang haruslah dipikul untuk mencegah bahaya sekumpulan orang.

9. Kebutuhan diukur dengan kepentingannya. Batas-batas kebutuhan yang sah adalah:

  1. Hanya sebagai alternatif, karena kalau tidak maka sesorang akan membahayakan hidupnya jika ia tidak melakukan sesuatu itu.
  2. Kebutuhan haruslah sudah ada dan bukan keadaan yang mendadak.
  3. Tidak menyisakan kebutuhan tapi mengerjakannya
  4. Kebutuhan harus diperkirakan secukupnya

10. Prinsip kebolehan menggunakan apa yang telah dihasilkan oleh pemikiran manusia selama itu tidak bertentangan dengan ketentuan Allah.

11. Prinsip kebolehan membuat perjanjian apa saja dan kepada siapa saja kecuali kepada pelaksanaan apa yang dilarang oleh Allah dan tidak mengerjakan apa yang Allah perintahkan.

12. Tidak boleh ada kontradiksi antara hukum alam dengan apa yang kita lakukan. Apa yang kita lakukan haruslah dibawah aturan-aturan syariat, yang merupakan media tepat untuk beribadah.

13. Prinsip memudahkan urusan orang lain dan menutup jalan untuk korupsi.

14. Al-'Urf (Kebiasaan) harus dilaksanakan dalam transaksi bisnis selama tidak ada teks yang menjelaskan apa yang dimaksud dalam al-Quran atau sunnah.

15. Pada saat melakukan transaksi dan kontrak-kontrak, fokus harus disandarkan pada kandungan dan signifikansi transaksi dan bukan terfokus pada format atau ketentuan-ketentuan mutlak. Karena memahami suatu keadaan adalah hal yang penting dalam penilaian suatu transaksi.

16. Wajib menggunakan cara dan metode untuk mencapai akhir transaksi yang sah.

17. Mencegah terjadinya korupsi lebih penting daripada memembawa keuntungan.

18. Transaksi dan kontrak harus berdasarkan persetujuan bersama dan bukan karena ketundukan kepada seseorang, kecuali apa yang dilarang oleh nash, baik itu al-Quran atau sunnah.

19. Menaruh perhatian yang khusus kepada Tauhid, tingginya moral keimanan, dan keikhlasan demi mencapai kesejahteraan manusia.

2. NORMA DAN ETIKA DI DALAM RITEL SYARIAH.

Yang membedakan Islam dengan materialisme ialah bahwa Islam tidak pernah memisahkan ekonomi dan etika, sebagaimana tidak pernah memisahkan ilmu dengan akhlak. Nabi Muhammad saw bersabda, “Sesungguhnya aku diutus untuk menyempur-nakan akhlak mulia”. Beranjak dari hadits ini maka segenap aktivitas yang dilakukan manusia -tidak terkecuali dalam menjalankan bisnis ritel- harus bermuara dan berakhir pada pencapaian tujuan akhlaq al karimah yang meliputi akhlaq kepada diri sendiri, orang lain, stakeholder dan yang lebih penting adalah akhlak kepada Allah SWT.

Retail is detail, demikian slogan yang sering disebutkan dalam dunia ritel. Memang jika kita melihat kegiatan usaha ini, menuntut pelakunya untuk mampu bekerja sedikit lebih ekstra dibanding –mungkin- dengan jenis kegiatan usaha lainnya. Sebagaimana yang diungkap oleh praktisi ritel yang sudah berpengalaman menyebutkan bahwa bisnis ritel adalah bisnis yang mempunyai margin keuntungan yang sangat tipis. Oleh karenanya efisien dan pelayanan merupakan kata kunci untuk bisa bertahan dalam bisnis ini. Walhasil hampir seluruh proses yang dijalankan harus dilakukan secara detil untuk mencapai efisiensi dan kualitas pelayanan yang prima. Karena yang sedang dibicarakan adalah ritel syariah maka akhlaq al karimah harus tetap merupakan bingkai dari pencapaian efisiensi dan pelayanan tersebut.

Sebagaimana dimaklumi Islam sangat mendorong umatnya untuk ber”fastabiqul khairat” –berlomba-lomba menuju kebaikan. Makna kalimat ini menggeser kata ”competition” yang dilahirkan dari khazanah paham kapitalis. Jika semangat yang dibangun adalah ”fastabiqul khairat” maka realitas bisnis yang terbentuk adalah semangat untuk memberikan yang terbaik kepada stakeholder bukan sebaliknya malah mengalahkan kompetitor. Semangat ”fastabiqul khairat” ini menjadikan ”kompetitor” sebagai mitra bukan pihak yang harus dikalahkan. Inilah salah satu akhlaq yang harus dikembangkan sehingga keberadaan ritel modern tetap menjadi maslahat bagi pasar tradisional. Lalu konsep syari’ah yang bagaimana yang harus dikembangkan dalam bisnis ritel ini ? Dari sekian banyak aspek yang ada maka topik sirkulasi yang paling relevan untuk diulas dalam kesempatan ini.

"SIRKULASI" menurut para ekonom adalah kumpulan perjanjian dan proses yang di porosnya manusia menjalankan aktivitas. Dengan pengertian lain, sirkulasi adalah pendayagunaan barang dan jasa lewat kegiatan jual beli dan simpan pinjam melalui agen, koperasi, dan lain-lain, baik sebagai sarana perdagangan ataupun tukar-menukar barang.

Sirkulasi dalam Islam sangat fleksibel yang membedakannya dengan ciri sosialis yang menolak kebebasan pasar dan tidak sama dengan sistem kapitalis yang menganut pasar bebas.[14] Konsep Islam menegaskan bahwa pasar harus berdiri di atas prinsip persaingan bebas (perfect competition). Namun demikian bukan berarti kebebasan tersebut diartikan secara mutlak tetapi kebebasan yang diikat oleh bingkai aturan syariah.

Dari pemahaman itu, harga sebuah komoditas (barang dan jasa) ditentukan oleh penawaran dan permintaan, perubahan yang terjadi pada harga berhubungan dengan terjadinya perubahan permintaan dan perubahan penawaran. Berkenaan dengan hal ini Rasulullah saw merespons sahabat yang memintanya untuk menentukan harga pada saat harga barang pada ketika itu melambung tinggi dengan bersabda : ”Bahwa Allah adalah Zat yang mencabut dan memberi sesuatu, Zat yang memberi rezeki dan penentu harga...” (HR Abu Daud).

Jika menelisik ashbabul wurud hadits ini maka terlihat bahwa kenaikan harga terjadi karena sebab-sebab yang bersifat darurat dan dengan sendirinya harga akan kembali normal seiring dengan hilangnya sifat darurat tersebut. Penetapan harga menurut Rasul merupakan suatu tindakan yang menzalimi kepentingan para pedagang, karena para pedagang di pasar akan merasa terpaksa untuk menjual barangnya sesuai dengan harga patokan, yang tentunya tidak sesuai dengan keridhaannya.

Kesimpulannya, nilai konsep Islam tidak memberikan ruang intervensi dari pihak manapun untuk menentukan harga, kecuali dan hanya kecuali adanya kondisi darurat yang menuntut pihak terkait mengambil bagian dalam menentukan harga.

Selanjutnya di dalam peraturan sirkulasi atau perdagangan islami terdapat norma, etika agama, dan perikemanusiaan yang menjadi landasan pokok bagi pasar Islam yang bersih. Di antara norma itu adalah sebagai berikut :

A. Larangan Memperdagangkan Barang-Barang Haram

Norma pertama yang ditekankan Islam adalah larangan mengedarkan barang-barang haram, baik dengan cara membeli, menjual, memindahkan, atau cara apa saja untuk memudahkan peredarannya. "Allah melaknat khamar (minuman keras), peminumnya, penyajinya, penjualnya, penyulingnya, pembawanya, dan pemakan hartanya." (HR. Jamaah dari Jabir)

Yang termasuk kategori khamar ialah segala jenis benda yang memabuk-kan dari jenis candu, ganja, morfin, heroin, kokain, dan sebagainya. Barang-barang yang memabukkan ini menyedot banyak kekayaan masyarakat dan mengancam jutaan anak muda. Ikut mengedarkan barang-barang ini berarti ikut bekerja sama dalam perbuatan dosa atau melakukan pelanggaran yang dilarang oleh Allah dan dikecam dalam kitab suci-Nya: "Dan janganlah kamu tolong-menolong dalam berbuat dosa atau pelanggaran dan bertawakallah kamu kepada Allah sesung­guhnya Allah amat berat siksaan-Nya” (QS Al-Maidah : 2).

B. Benar, Menepati Amanat, Dan Jujur

1. Benar (Lurus)

Menurut syariat, banyak bersumpah dalam berdagang adalah makruh karena perbuatan ini mengandung unsur merendahkan nama Allah, juga di-khawatirkan bisa menjerumuskan seseorang ke dalam dusta. Lalu, bagaimana pula jika sumpahnya sejak awal memang bohong? "Empat tipe manusia yang dimurkai Allah: penjual yang suka bersum-pah, orang miskin yang congkak, orang tua renta yang berzina, dan imam yang zalim."(HR. Nasa’i dan Ibnu Hibban). Seseorang yang meremehkan nama Allah dengan maksud melariskan barang dagangannya adalah orang mudah bersumpah hanya agar barang dagangannya laris. Dalam hadits lain disebutkan, "Sesungguhnya para pedagang itu adalah pendur-haka." Mereka berkata, "Ya, Rasulullah! Bukankah dihalalkan berjual beli?" Nabi menjawab, "Benar, tetapi mereka terlalu mudah bersumpah sehingga mereka berdosa dan terlalu banyak berbicara sehingga mereka mudah berbohong.” (HR Ahmad dari Abdul Rahman).

Pada zaman sekarang, untuk mempromosikan komoditi dagangannya, orang menggunakan sarana iklan. Dan kenyataan membuktikan, pengaruh iklan lebih besar daripada pengaruh keimanan di dalam hati manusia.

Dewasa ini, umat manusia banyak dikelabui oleh iklan yang memikat, baik yang disampaikan dalam bentuk tulisan, lisan, maupun gambar. Karena gencar-nya promosi melalui iklan, akhirnya seseorang membeli barang yang sama sekali tidak dibutuhkannya, bahkan sebenarnya ia tidak sanggup membelinya. Manu­sia juga kadang-kadang membeli barang sampai pada tingkat berani berutang atau membayar dengan cicilan. ,

Di dalam atsar (sunnah), disebutkan bahwa ciri pedagang yang lurus ada­lah: "Mereka adalah orang-orang yang jika menjual tidak memuji barang da­gangannya dan jika membeli tidak mencela barang beliannya." Bandingkanlah ciri ini dengan kebiasaan orang-orang yang sering memuji-muji barang da­gangannya lewat iklan dan promosi.

2. Menepati Amanat

Menepati amanat merupakan moral yang mulia. Allah menggambarkan orang mukmin yang beruntung dengan perkataan-Nya: "Dan orang-orang yang memelihara amanat-amanat (yang dipikulnya dan janjinya)." (QS Al-Mukmin : 8)

Dalam hadits sahihain, Nabi bersabda, "Tiga golongan yang termasuk munafik meskipun ia berpuasa, shalat, dan mengaku muslim yaitu jika berbicara ia berbohong, jika berjanji ia tidak menepati, dan jika diamanatkan ia ber­khianat." Dan Allah tidak suka orang-orang yang berkhianat dan tak merestui tipu dayanya.

Maksud amanat adalah mengembalikan hak apa saja kepada pemiliknya, tidak mengambil sesuatu melebihi haknya dan tidak mengurangi hak orang lain, baik berupa harga atau upah. Allah berfirman: "Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya.” (QS an-Nisa’ : 58)

Amanat bertambah penting pada saat seseorang membentuk serikat da-gang, melakukan bagi hasil (mudharabah), atau wakalah (menitipkan barang untuk menjalankan proyek yang telah disepakati bersama). Dalam hal ini, pihak yang lain percaya dan memegang janji demi kemaslahatan bersama. Jika salah satu pihak menjalankannya hanya demi kemaslahatan pihaknya, maka ia telah berkhianat.

Di dalam hadits Qudsi, Allah berfirman: "Aku adalah yang ketiga dari dua orang yang berserikat, selama salah satu dari keduanya tidak mengkhianati rcmannya. Apabila salah satu dari keduanya berkhianat, Aku keluar dari mereka."(HR Abu Daud)

3. Jujur (Setia)

Selain benar dan memegang amanat, seorang pedagang harus berlaku jujur, dilandasi keinginan agar orang lain mendapatkan kebaikan dan kebahagia-an sebagaimana ia menginginkannya dengan cara menjelaskan cacat barang dagangan yang dia ketahui dan yang tidak terlihat oleh pembeli.

a. Larangan Menyembunyikan Harga Kini

Tidak jauh dari sifat curang ialah menyembunyikan harga kini. Seyogyanya, pedagang bersikap jujur dalam menetapkan harga kini dan tidak menyembunyikannya. Nabi Muhammad sendiri melarang mencegat pembeli yang dalam perjalanan menuju pasar.

Nabi bersabda:

Jangan kamu mencegat para pedagang di tengahjalan. Pemilik barang berhak memilih setelah sampai pasar, apakah ia menjual kepada mereka yang mencegat atau kepada orangyang ada di pasar.” (HR Mutafaqqun alaih)

Menurut Imam Ghazali, pelarangan ini menunjukkan bahwa para pembeli dan penjual tidak boleh meyembunyikan harga pasar.

b. Larangan Melipat Harga dalam Jual Beli

Menurut Imam Ghazali, dilarang melipat gandakan harga dalam jual beli dalam kebiasaan yang berlaku. Pada dasarnya pelipatan harga dibolehkan karena jual beli adalah aktivitas untuk mendapatkan keuntungan. Hal itu tidak terlepas dari unsur menjual barang dengan menaikkan harganya. Jika pembeli menambah harga suatu barang karena senangnya terhadap barang itu atau karena ia sangat membutuhkannya, maka penjual harus mencegahnya, dan hal itu termasuk ihsan. Kalau bukan menyelubungi kebenaran maka mengambil lebih dari harga yang ditentukan bukan perbuatan zalim.

C. Sikap Adil Dan Haramnya Bunga (Riba)

1. Adil

Menurut Islam, adil merupakan norma paling utama dalam seluruh aspek perekonomian. Hal itu dapat kita tangkap dalam pesan Al-Qur'an yang men-jadikan adil sebagai tujuan agama samawi. Bahkan, adil adalah salah satu asma Allah. Kebalikan sifat adil adalah zalim, yaitu sifat yang dilarang Allah pada diri-Nya sebagaimana dilarang dalam firman-Nya pada hamba-Nya: "Wahai hamba-hamba-Ku, Aku melarang kezaliman pada diri-Ku dan Aku haramkan juga antara kamu, maka janganlah kamu saling menzalimi."

Allah menyukai orang yang bersikap adil dan sangat memusuhi kezaliman, bahkan melaknatnya: "Ingatlah, kutukan Allah (ditimpakan) atas orang-orang yang zalim.”( QS Hud : 18)

Oleh sebab itu, Islam mencegah bai'ul gharar karena ketidaktahuan terhadap kondisi suatu barang itu merugikan satu pihak dan bisa menimbulkan tindakan zalim. Demikian pula, dilarang mengadakan muamalah yang di dalamnya terdapat unsur penipuan.

2. Haramnya Riba

Di antara tanda keadilan adalah haramnya bermuamalah dengan riba. Al-Qur'an mengisyaratkan bahwa Allah dan Rasul-Nya memerangi pelaku-pelakunya. "Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan ting-galkanlah sisa riba (yang belum dipungut) jika kamu orang-orang yang beriman. Maka jika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba) maka ketahuilah bahwa Allah dan Rasul-Nya akan memerangi kamu. Dan jika kamu bertobat (dari pengambilan riba) maka bagimu pokok hartamu kamu tidak menganiaya dan tidak pula dianiaya.” (QS Al-Baqarah : 279)

Ayat ini membuktikan bahwa dasar pelarangan riba ialah terdapatnya unsur kezaliman pada kedua belah pihak. Maka dengan di-hapuskannya riba, kezaliman itu hilang sebagaimana dinyatakan oleh ayat itu, "tidak menganiaya dan tidak pula dianiaya."

3. Menyempurnakan Timbangan dan Takaran

Salah satu cermin keadilan adalah menyempurnakan timbangan dan takar­an. Inilah yang sering diulang di dalam Al-Qur'an. "Dan sempurnakanlah takaran apabila kamu menakar, dan timbanglah dengan neraca yang benar, Itulah lebih utama bagiinu dan baik akibatnya.” (QS al-Isra’ : 35)

4. Mengurangi Hak Manusia

Nabi Syuaib juga memperingatkan mereka agar tidak mengurangi hak manusia. Ini merupakan salah satu cacat pasar, yang timbul karena sifat egois dan diliputi oleh perbuatan kezaliman.

5. Pemaksaan atas Harga yang Tidak Disepakati

Salah satu ciri keadilan adalah tidak memaksa manusia membeli barang dengan harga tertentu jika mekanisme pasar berjalan normal. Tidak boleh ada monopoli di dalam pasar, tidak boleh ada permainan harga, serta tidak boleh ada cengkeraman yang bermodal kuat terhadap orang kecil yang lemah. Jika sebagian barang melonjak harganya karena jumlahnya terbatas atau karena banyaknya permintaan, maka sesuai dengan "hukum penawaran dan perminta-an", pada saat itu pasar diserahkan pada keputusan yang adil dan wajar.

6. Mengulur Pembayaran Utang

Islam juga mewajibkan sikap adil dengan melunasi utang jika sudah sang-gup membayarnya, agar terlepas tanggung jawabnya. Jika seseorang mampu membayar utang tetapi ia tidak melakukannya maka ia bertindak zalim dan ber-hak menerima sanksi, di dunia maupun di akhirat. Sabda Nabi saw.: "Penundaan pembayaran utang oleh orang kaya adalah kezaliman.” (HR. Jamaah dari Abu Hurairah)

Adapun sanksi yang diterimanya di dunia ini, Nabi saw. bersabda: Orang kaya yang menangguhkan pembayaran utangnya patut diumumkan (dicemarkan nama baiknya) dan dihukum. (HR Ahmad)

D. Kasih Sayang

Di sini, Islam mewajibkan mengasih sayangi manusia dan seorang pedagang jangan hendaknya perhatian utamanya dan tujuan usahanya untuk mengeruk keuntungan sebesar-besarnya.

Islam ingin menegakkan di bawah naungan norma pasar. Kemanusiaan yang besar menghormati yang kecil, yang kuat membantu yang lemah, yang bodoh belajar dari yang pintar, dan manusia menentang kezaliman.

Menurut pandangan materialisme dan kapitalisme, pasar tidak lebih dari-pada hutan mini, tempat yang kuat menerkam yang lemah, yang perkasa meng-injak yang tidak berdaya, dan kejayaan hanya milik mereka yang kuat dan berani membunuh, bukan milik yang terbaik dan yang mulia.


E. Menumbuhkan Toleransi, Persaudaraan, Dan Sedekah

1. Toleransi

Salah satu moral terpuji ialah sikap toleran dan menjauhkan praktik eksploitasi. Tindakan eksploitasi banyak mewarnai dunia perdagangan, terutama perdagangan yang berada di bawah naungan kapitalis.

Dari sini dapat disimpulkan bahwa mengembalikan utang dengan jumlah lebih banyak daripada jumlah pinjaman adalah hal yang baik dan terpuji karena termasuk akhlak yang mulia.

Mengundurkan waktu penagihan utang termasuk sikap toleran, yang memberikan kesempatan kepada pengutang untuk melunasinya dengan sem-purna. Allah berfirman: "Dan jika (orang berutang itu) dalam kesukaran, maka berilah tangguh sampai dia berkelapangan dan menyedekahkan sebagian atas semua utang itu, lebih baik bagimu, jika kamu mengetahui."(QS Al-Baqarah : 280) "Barang siapa meringankan kesulitan seorang di dunia, niscaya Allah akan meringankan kesulitannya di dunia dan di akhirat.” (HR. Abu Hurairah)

2. Menjaga Hak-hak Orang Lain

Salah satu etika yang harus dijaga adalah menjaga hak orang lain demi terpeliharanya persaudaraan. Jika individu dalam sistem kapitalis tidak meng­indahkan hal-hal yang berkaitan dengan etika seperti tidak mengindahkan perasaan orang lain, tidak mengenal akhlak dalam bidang ekonomi, dan hanya mengejar keuntungan, maka sebaliknya, Islam sangat memperhatikannya.

3. Sedekah yang Sebenarnya

Islam menganjurkan kepada pedagang agar mereka bersedekah semam-punya untuk membersihkan pergaulan mereka dari tipu daya, sumpah palsu, dan kebohongan.

Nabi berkata, "Wahai, para pedagang! Sesungguhnya jual beli diiringi tipu daya dan sumpah palsu maka jernihkanlah lewat sedekah."

3. POTENSI DAN PELUANG RITEL SYARI’AH

John Naisbitt dalam bukunya, Megatrends 2000, pernah mengungkapkan bahwa abad ke-21 merupakan abad kebangkitan agama milenium baru (The Age of Religion). Berikut ini kutipan dari John Naisbitt:

"In turbulent times, in times of great change, people head for the two extremes: fundamentalism and personal, spiritual experience ...With no membership lists or even a coherent philosophy or dogma, it is difficult to define . or measure the unorganized New Age movement. But, in every major U.S. and European city, thousands who seek insight and personal growth cluster around a metaphy­sical bookstore, a spiritual teacher, or an education center."

Bagi umat beragama, globalisasi harus dipandang sebagai membawa ba­nyak manfaat dan peluang dengan terus belajar untuk tidak meninggalkan identitas. Karena itulah, terlihat umat Islam mulai menerapkan perekonomian secara syariah.

Perekonomian Islam dimulai dengan kehadiran perbankan syariah sebagai lembaga keuangan yang berlandaskan etika, dengan dasar Al-Quran dan Al-Hadis. Salah satu tonggak utama berdirinya perbankan syariah ini adalah dengan beroperasinya Mit Ghamr Local Saving Bank pada 1963 di Kairo, Mesir. Saat ini lembaga atau institusi keuangan sya­riah berkembang secara pesat dan bahkan lembaga keuangan konvensional yang notabene mengadopsi sistem kapitalisme juga mengakui sistem syariah dan menerapkannya dengan membuka unit-unit syariah.

Dalam perkembangannya di Indonesia, lahirnya lembaga syariah diawali dengan berdirinya Bank Muamalat Indonesia di tahun 1992 diikuti –yaitu pada 2005- dengan lembaga syari’ah lainnya seperti Asuransi Syariah, Reksa-dana Syariah, Pegadaian Syariah, serta bahkan Properti dan Hotel Syariah. Dalam dunia ritel, juga telah berdiri Super Market Madinah Syariah yang oleh Museum Rekor Dunia Indonesia dicatat sebagai Super Market Syariah Pertama di Indonesia.

Perkembangan sistem ekonomi syariah ini cukup menjadi bukti bahwa masyarakat yang hidup di era globalisasi saat ini rindu kepada ketenteraman dalam menjalani kegiatan ekonomi. Walhasil dapat kita lihat adanya perubahan yang membawa masyarakat kembali pada nilai-nilai etika, yang dalam hal ini menimbulkan paradoks antara kehidupan dunia dan kehidupan akhirat.

Di tengah situasi serta kondisi persaingan usaha yang semakin ketat, perusahaan harus merenungkan kembali prinsip-prinsip dasar perusahaannya. Perusahaan-perusahaan besar yang sukses di abad ke-21 ini umumnya dapat mendeteksi per­ubahan yang terjadi di pasar dan bagaimana mereka tetap konsisten untuk menjalankan nilai-nilai dan prin­sip dasar perusahaannya. Sebut saja sebagai contoh General Electric, di bawah kepemimpinan Jack Welch, berhasil menoreh sejarah sebagai salah satu perusahaan yang sukses karena prin­sip dasar perusahaan yang dianutnya. Prinsip mereka terkenal dengan nama "GE Way", dengan nilai-nilai sebagai berikut:

GE Leaders ... Always with Unyielding Integrity:

· Have a Passion for Excellence and Hate Bureaucracy

· Are Open to Ideas from Anywhere ... and Commit­ted to Work-Out

· Live Quality ... and Drive Cost and Speed for Competitive Edge

· Have the Self-Confidence to Involve Everyone and Behave in a Boundaryless Fashion

· Create a Clear, Simple, Reality-Based Vision ... and Communicate it to All Constituencies

· Have Enormous Energy and the Ability to energize Others

· Stretch ... Set Aggressive Goals ... Reward Progress ... Yet Understand Accountability and Commitment

· See Change as Opportunity ... Not Threat

· Have Global Brains ... and Build Diverse and Global Teams

Pesan-pesan dari visi dan misi Jack Welch disampaikan di setiap kesempatan : di dalam RUPS, pidato-pidato di depan dewan komisaris dan direksi, dan bahkan di setiap pembicaraannya. Namun, yang menjadi kunci utama adalah ketika ia membuat buku GE Values yang berukuran kecil sebesar dompet sehingga setiap karyawan dapat membawanya ke mana pun ia pergi. Jack Welch berkata, "There isn't a human being in GE that wouldn't have the Values Guide with them. In their wallet, in their purse. It means everything and we live it And we remove people who don't have those values, even when they post great results."

Dengan menerapkan GE Values secara konsisten dan menyeluruh di perusahaannya, Jack Welch telah berhasil membawa perusahaannya mencapai kejayaan. Ia berhasil menjadi pemimpin yang dikagumi di seluruh dunia dan menjadi contoh bagi para pemimpin perusahaan besar lainnya. Bagi Jack Welch, perubahan yang terjadi dalam kehidupan bukanlah sesuatu yang harus ditakuti walau dalam kenyataannya banyak manajer perusahaan takut akan perubahan dan merasa aman dengan kondisi di mana mereka merasa nyaman.

"Change is a big part of the reality of business. Take the business environment—it's constantly changing. New competitors. New products. Any business that ignores these facts is doomed to collapse."

Selanjutnya gagasan ritel syariah ini juga suatu hal yang dipandang sebagai diferensiasi sedang diferensiasi merupakan komponen pembentuk keunggulan perusahaan. Diferensiasi didefinisikan sebagai tindakan merancang seperangkat perbedaan yang bermakna dalam tawaran perusahaan. Namun, penawaran ini bukan berarti janji-janji belaka saja, melainkan harus didukung oleh bentuk yang nyata.

Dalam perusahaan syariah, sudah pasti diferensiasi yang terbentuk adalah dari content prinsip-prinsip sya­riah. Memang, dengan menawarkan produk syariah, perusahaan harus meng-customized infrastruktur yang diperlukan. Sebagai contoh, untuk mendukung transparansi dan kejujuran, perusahaan syariah harus membuat Standard Operating Procedure dan menjalankan reward dan punishment dengan benar terhadap sumber daya manusia yang menjalankannya. Tentu hal ini tidaklah cukup. Perusahaan harus berkreasi dalam merancang perbedaan yang bisa memberikan value-added bagi konsumennya. Untuk menyebutnya sebagai contoh –di Madinah Syariah Super Market selalu memberikan edukasi kepada konsumen -misalnya berupa larangan untuk tidak membeli barang-barang yang tidak benar-benar diperlukan konsumen karena hal tersebut dinilai sebagai sikap pemborosan. Sesuatu paradoks dari praktek impulse buying yang dijalankan oleh ritel konvensional.

Beberapa hal yang telah disebutkan di atas –apalagi mengingat bahwa mayoritas penduduk negeri ini beragama Islam- merupakan potensi dan peluang yang harus segera direspons para pelaku bisnis ritel. Pertanyaan yang mungkin mengusik selanjutnya adalah : Apakah pasar non muslim akan tetap mau berbelanja ketika bisnis ritel tersebut diusung dengan konsep syariah ? Sebagai pengelola Super Market Syariah penulis dapat menjawab bahwa ternyata konsumen yang datang berbelanja ke Madinah Syariah datang dari berbagai ragam suku dan agama.


BAB III

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan

1. Dengan menganalisis nilai-nilai dan prinsip syari’ah yang dapat diimplementasikan dalam operasionalisasi ritel syari’ah, secara intrinsik ia memiliki potensi yang cukup besar dalam memberikan solusi alternatif bagi ritel modern agar keberadaannya tidak menjadi ancaman bagi keberadaan pasar tradisional.

2. Konsep ritel syari’ah sekaligus merupakan upaya untuk mendukung pelaksanaan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1999 Tentang Larangan Praktek Monopoli Dan Persaingan Usaha Tidak Sehat sehingga upaya pemerintah membendung ekspansi ritel modern lewat Perpres Pasar Ritel Modern yang dinilai oleh KPPU melanggar UU No. 5 tahun 1999 menjadi tidak relevan lagi.

3. Sebagai penjelmaan konsep kasih sayang dalam berusaha maka konsep syari’ah bersesuaian dengan semangat Perpres No. 112/2007 tentang Penataan dan Pembinaan Pasar Tradisional dimana toko modern dan pusat belanja wajib melakukan kemitraan dengan usaha kecil.

4. Jumlah penduduk Indonesia yang mayoritas beragama Islam merupakan potensi sekaligus peluang dalam pengembangan konsep ritel syari’ah terlebih-lebih melihat gejala masyarakat global yang telah mulai mempertimbangkan aspek spiritual dalam menggunakan barang dan jasa.

5. Konsep ritel syari’ah dapat dipahami sebagai diferensiasi usaha dan diferensiasi merupakan taktik untuk “memenangkan persaingan”.

Saran

1. Pengembangan sektor riil akan memberikan dampak yang luar biasa terhadap kondisi perekonomian secara keseluruhan. Oleh karenanya perhatian untuk segera merumuskan konsep syariah di sektor riil ini –antara lain di bidang ritel- menjadi sangat urgen.

2. Mengingat salah satu fungsi bank syariah adalah sebagai manajer investasi maka bank syariah dapat juga berperan dalam mengembangkan konsep ritel syariah ini melalui pembiayan mudharabah/musyarakah. Hal ini cukup beralasan karena bisnis ritel merupakan bisnis yang akan terus menjanjikan di masa depan.

Tidak ada komentar: