Selasa, 14 Oktober 2008

Sekiranya Kita Semua Beragama

“Aku Dipanggil Bang Ustadz” :

Pesan Moral Mendisinikan Agama Di Tempat Bekerja

by : Ahsanul Fuad Saragih

Sekali waktu aku pernah disapa oleh seorang teman yang lebih muda dari aku "Bang Ustadz... Apa kabar ?” sapanya begitu akrab. Entah sudah beberapa kali dan untuk alasan apa dia memanggilku demikian. Tapi sejak saat itu aku “mempositioning”kan panggilan itu -setidaknya di corong micro phoneku pada tajuk acara live yang kuberi judul “Belanja Bareng Bersama Bang Ustadz”.

Panggilan abang, sapaan khas“Anak Medan”, sedang gelar Ustadz ditabalkan sejak nyerep Ustadz yang nggak jadi datang pada suatu acara Maulid yang panitianya anak-anak ABG. Demi menyelamatkan pamor anak-anak muda yang sudah keburu takut dimarahi kepling, akupun dibajak dan harus ngaku dan “terpaksa” mau dipanggil Ustadz. *)

Dua kata “Abang” dan “Ustadz” digabung menjadi satu. Jadilah : “BANG USTADZ”. “Si Abang Diterangkan Ustadz” atau “Si Ustadz Diterangkan Abang”. Selain karena aku tidak benar-benar seorang Ustadz sebagaimana gelar yang hanya diberikan kepada seorang Guru Besar semisal di Universitas Al-Azhar Cairo -lewat pendekatan semantik “Bang Ustadz” ini-, terselip sebuah pesan : “si Abang harus banyak mendengarkan nasehat si Ustadz” (karena aku masih muda dan kurang ilmu agama), “si Ustadz mau dinasehati si Abang”, karena memang banyak para Ustadz yang sakit hati kalau dinasehati anak muda apalagi tak berilmu. Lewat sapaan yang terlanjut telah melekat itu, aku ingin menyampaikan suatu pesan : "Agama itu tidak hanya ada di Mesjid, di "jenggot" para pengamal ibadah atau di "serban para Ustadz" tapi juga ada di pasar modal, di sawah, di proyek kantor gubernur sampai di pasar "inang-inang" penjual buah jengkol dan sayuran.

Berbagai bentuk kerusakan yang semakin banyak terlihat, semuanya berpangkal dari tidak hadirnya agama di tengah kehidupan masyarakat. Lihat saja bagaimana ulah para penyelenggara negara kita ini. Mulai dari satpamnya, pendidiknya, pengusahanya, birokratnya sampai kepada para penegak hukumnya sudah menghinakan dirinya dengan cara berselingkuh dengan amanah yang dipegangnya. Tidak ada rasa malu lagi. Karena urat syaraf malunya sudah putus. Menadahkan tangan meminta-minta uang, zaman dulu hanya dilakukan oleh seorang pengemis yang karena terpaksa harus memenuhi tuntutan perutnya. Saat ini pengemis itu semakin banyak. Beda pengemis jenis yang keluaran zaman ini, perawakan tubuhnya bersih karena tiap minggu dia keluar masuk salon untuk mandi susu. Orangnya necis karena dia berseragam dan berdasi. Orang semcam ini tujuan mengemisnya bukan untuk tujuan sejengkal perut, karena umumnya mereka punya anak yang sekolah di luar negeri, merk ballpointnya mount blanc, cincin di jari manisnya berhiasi permata zamrud. Semua asesoris yang disebut itu sengaja dipakai untuk menunjukkan kelasnya agar si penyuap bisa menyesuaikan isi kopernya. Belum lagi usai ceritanya. “Si pengemis” malah mampu memberi entertainment berupa makanan mewah, fasilitas antar jemput mobil dari bandara ke hotel plus bersama dayang-dayangnya. Semua itu dilakukannya kepada “klien-klien yang mau didamaikannya”. Tunggu dulu. Ini tentu bukan karena kebaikan hatinya. Itu dilakukannya untuk semacam investasi modal kerja agar “ROI” yang diperolehnya bisa melebihi keuntungan -bahkan semisal keuntungan bisnis pelacuran yang dikenal sudah paling tua sekalipun.

Kalau sudah demikian, siapa lagi yang kita harapkan dari penyelenggara Negara ini untuk mengurus fakir miskin dan anak-anak terlantar seperti amanah konstitusi Negara ini. Jawabannya : biarkanlah syetan yang mengurusnya. Itu jawabah kalau anda –yang bertepatan membaca artikel ini tidak mempunyai hati. Kalau ada yang masih punya hati, tentu dia akan segera bergegas menyingsingkan baju untuk membenahi kerusakan yang terlihat semakin parah di persada tanah air yang –konon kabarnya umatnya mengaku beragama.

*) Kisah pada alinea kedua hanya ilustratif

Orang Miskin Dilarang Protes

ORANG MISKIN DILARANG PROTES :

Catatan Ironi Di Tengah Peringatan Hari Kebangkitan Nasional

Oleh : Ahsanul Fuad Sani Saragih

ORANG MISKIN dilarang protes !! Mungkin itulah secuil kalimat sindiran yang paling tepat untuk menggambarkan jawaban pemerintah terhadap berbagai aksi protes rakyat terhadap lonjakan harga-harga kebutuhan hidup saat ini. Penderitaan rakyat ternyata belum lagi dirasa cukup karena harga kebutuhan hidup dipastikan meroket lagi menyusul keputusan pemerintah yang akan menaikkan harga BBM. Kepastian naiknya harga BBM diumumkan Pemerintah melalui Menko Ekonomi Boediono setelah rapat terbatas di Kantor Presiden Senin (5/5) lalu.

Jeritan perih perut rakyat yang mengalami busung lapar di berbagai daerah semakin menjadi sayup-sayup terdengar. Betapa tidak ! Karena syahwat hiruk pikuk pilpres 2009 lebih kedengaran seksi ketimbang bicara duduk bersama menyelesaikan persoalan yang mendera bangsa ini. Kalaupun sempat terbicarakan tak lebih sekedar ajang retorika politik atau menjadikannya sebagai komoditas dan alat untuk menyerang pemerintah. Lagi-lagi orang miskin menjadi komoditas.

Inilah sekelumit cerita ironi bangsa kita-yang mayoritas penduduknya, Presidennya, Menterinya sampai Kepala Lingkungannya umumnya diduga pernah membaca atau mengetahui surat Al-Ma’un. Surat yang memerintahkan manusia, dari Presiden sampai Kepala Lingkungan, dari orang kaya sampai orang yang bahkan tidak memiliki kelebihan apapun diminta untuk mempunyai sikap membela kepentingan orang-orang yang lemah. Untuk menyegarkan ingatan kita berikut ini diketengahkan ashbab an nuzul dari surat al-Ma’un tersebut.

Dalam beberapa riwayat, dikemukakan bahwa ada seseorang –yang diperselisihkan siapa dia, apakah Abu Sufyan atau Abu Jahal, al-‘Ash Ibn Walid atau selain mereka –konon setiap minggu menyembelih seekor unta. Suatu ketika, seorang anak yatim datang meminta sedikit daging yang telah disembelih itu namun bukannya malah diberinya bahkan ianya dihardik dan diusir. Peristiwa ini merupakan latar belakang turunnya ayat ini.

Pada surat tersebut Allah berfirman : “Tahukah kamu (orang) yang mendustakan agama ? itulah orang yang menghardik anak yatim, dan tidak menganjurkan memberi makan orang miskin”, demikian transletasi tiga bagian ayat pertama dari surat al-Ma’un. Pertanyaan yang diajukan ayat pertama ini tentu bukan bertujuan memperoleh jawaban, karena Allah Maha Mengetahui, tetapi bermaksud mengugah hati dan pikiran kita agar memperhatikan kandungan pembicaraan tersebut.

Deskripsi orang yang masuk kriteria sebagai pendusta agama sepintas bisa mengagetkan kita jika dibandingkan dengan pengertian iman secara tradisional. Tetapi itulah inti dan persoalannya. Hakikat pembenaran ad-Din bukannya ucapan dengan lidah, tetapi ia adalah perubahan dalam jiwa yang mendorong kepada kebaikan dan kebajikan terhadap saudara-saudara sekemanusiaan, terhadap mereka yang membutuhkan pelayan dan perlindungan. Allah tidak menghendaki dari manusia kalimat-kalimat yang dituturkan, tetapi yang dikehendakiNya adalah karya-karya nyata yang membenarkan kalimat yang diucapkan itu, demikian kurang lebih Sayyid Quthub dalam tafsir terkenalnya Fii Zhilal al Qur’an. Selanjutnya dapat diterangkan di sini bahwa walaupun ayat ini berbicara tentang anak yatim, namun maknanya dapat diperluas sehingga mencakup semua orang yang lemah dan membutuhkan pertolongan.

Kewajiban memberi pertolongan itu bisa ditelisik dari diksi kata yahudhdhu/menganjurkan. Lewat pemilihan diksi kata ini memberi isyarat bahwa mereka yang bahkan tidak memiliki kelebihan apapun tetap dituntut paling sedikit berperan sebagai “penganjur pemberi pangan”. Walhasil surah ini tidak memberi peluang sekecil apapun bagi setiap orang untuk tidak berpartisipasi dan merasakan betapa perhatian harus diberikan kepada setiap orang lemah dan membutuhkan bantuan.

Terkait dengan rencana kenaikan BBM, agaknya pemerintah perlu mereduksi ayat ini dalam mengambil keputusan. Permasalahan kelangkaan BBM, kenaikan harga bahan pokok dan segudang permasalahan yang mendera bangsa ini harus diukur dan diselesaikan dengan kunci jawaban yang diberikan Alquran. Perhatian dan pembelaan pemerintah terhadap rakyat miskin harus diprioritaskan apalagi mengingat amanah tersebut ada tercantum dalam konstitusional negara yaitu UUD 1945. Secara UUD saja, jika negara mengabaikan hal ini maka negara telah berkhianat terhadap UUD 1945 dan hal itu termasuk kejahatan konstitusional negara.

Tapi tentu tidak di sini tempatnya untuk semakin melebarkan persoalan. Sekarang mari kita kembali ke awal pembahasan. Coba saja kita mulai dengan mengamalkan 3 ayat di atas. Para ahli yang menyandang seabreg gelar itu tidak perlu lagi debat kusir soal bagaimana menutup deficit APBN. Solusinya ternyata hanya dengan mengamalkan 3 ayat Alquran. Sederhana bukan ? Ya. Memang sederhana kalau kita berkehendak tidak menyulitkan masalah. Permasalahan yang sekarang timbul sebenarnya justeru terletak pada ketika tidak adanya keinginan –khususnya pemimpin negeri ini- untuk mengembalikan persoalan ini kepada si ”Pemilik Urusan”. Padahal Allah berfirman dalam Surat Al-Baqarah ayat 210 : ”Wa ilallahi turja’ul umur” (”Dan kepada Allahlah tempat kembalinya segala persoalan”).

Dalam kenyataannya permasalahan bangsa ini hanya dirujuk kepada pendapat para pakar di berbagai bidang seperti ekonomi, hukum, politik. Tidak. Bukan begitu penyelesaiannya. Jawabannya ada pada keterangan Alquran. Kalaupun menggunakan teori-teori di atas bukannya tidak diperbolehkan –dan memang tidak mungkin sama sekali meninggalkannya karena kenyataannya Alquran tidak bicara hitungan per barel minyak. Yang tidak diperbolehkan ketika teori itu tidak dirujukkan kembali kepada keterangan ayat Allah. Perhatikanlah ayat Allah ini ! Dan barangsiapa yang taat kepada Allah dan Rasul-Nya dan takut kepada Allah dan bertaqwa kepada-Nya, maka mereka adalah orang-orang yang mendapat kemenangan”. (QS. 24:52).

Kesimpulannya ternyata sederhana. Kita harus taat kepada Allah dan RasulNya supaya kita menang. Jika ditafsirkan secara kontradiktif (mafhum mukhallafah) berarti ”kita tidak akan menang kalau tidak taat kepada Allah dan RasulNya.” Bukan malah taat pada IMF, Amerika dan kroni-kroninya. Tapi apa mau dikata. Indonesia sudah takluk di bawah klausula-klausula perjanjian dengan IMF. Klausula tersebut menempatkan IMF sebagai ”dokter” nomor wahid yang dipercaya bisa mengantarkan Indonesia mencapai pertumbuhan ekonomi seperti yang ditargetkan. Lazimnya sebagai seorang dokter maka IMF memberi secarik kertas resep yang di bagian bawah dari kertas resep tersebut tertulis kalimat :

”Anda tidak diperkenankan mengganti obat ini tanpa persetujuan dari dokter”.

Celakanya IMF tidak mengenal penyakit Indonesia. Dia hanya memberi aspirin sedang penyakit yang diindap adalah kanker ganas.

Salah satu resep yang diberikan tersebut adalah pencabutan subsidi BBM dan TDL dan pemerintahpun tak berkutik kecuali harus membayar resep tersebut. Salah satu dari sekian banyak ongkos untuk membayarnya adalah penderitaan rakyat kecil. Sebut saja berita yang dilansir media televisi beberapa waktu lalu. Di berbagai tempat seorang ibu tega membunuh anak kandungnya karena alasan khawatir akan masa depan anaknya yang suram. Tidak ada lagi akal sehat. Kalau rakyatnya kehilangan akal sehat itu menandakan karena para pemimpin negeri ini juga sudah kehilangan akal sehat. Bicara kehilangan akal sehat agaknya salah penyebabnya diduga dari berlakunga sistem ekonomi ribawi yang dirancang oleh mafia barceley yang menjabat menteri sekaligus sebagai antek-antek Amerika.

Allah SWT berfirman dalam Alquran surah Al-Baqarah ayat 275 : ”Orang-orang yang memakan (mengambil) riba tidak dapat verdiri melaikan seperti berdirinya orang yang kemasukan syetan lantara (tekanan) penyakit gila”. Ini dapat ditandai dengan semakin kalapnya pemimpin negeri ini, seolah-olah tidak tahu apalagi yang harus diperbuat persis sama seperti orang yang tidak sadar karena kerasukan syetan. Pada bagian ayat yang lain Allah berfirman dalam Alquran Surat Al-Baqarah ayat 279 : ”Maka jika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba) maka ketahuilah bahwa Allah dan rasulNya akan memerangimu” (QS 2 : 279). Jadi wajarlah bencana demi bencana datang bertubi-tubi. Kalau dipikir-pikir, jangankan diperangi Allah, diteror isteri simpanan saja pusingnya minta ampun.

Pada kesempatan ini tak ada salahnya peringatan 100 tahun Hari Kebangkitan Nasional kita peringati dengan mengkinikan lagi semangat pembebasan terhadap penjajahan bangsa Indonesia. Momentum peringatan Hari Kebangkitan Nasional sejatinya memberi energi bagi anak bangsa ini untuk lepas dari cengkeraman penjajahan koorporasi asing. Mumpung masih dalam suasana peringatan Hari Kebangkitan Nasional maka penulis usul kepada para pembaca agar perayaan Harkitnas tahun ini diisi dengan gerakan berjudul : ”GERAKAN MENSYAHADATKAN ORANG ISLAM”. Jika Presiden dan Menterinya sudah Islam, Polisi, Jaksa dan Pengacaranya sudah Islam dan tak ketinggalan Ustadz dan Ulamanya sudah ”masuk Islam kembali” maka insyaAllah, Allah akan menurunkan keberkahannya di persada bumi Indonesia ini. Seorang yang Islam berarti adalah seorang yang telah bersyahadat. Seorang bersyahadat sejatinya juga dia sebagai seorang yang bertauhid dan seorang yang bertauhid adalah seorang yang merdeka dari berbagai bentuk penjajahan dan keterjajahan. Orang yang bersyahadat juga adalah orang-orang yang berani termasuk berani mengubah sistem ekonomi kapitalis menjadi sistem ekonomi syariah yang berkeadilan (minadzh zhulamati ila an nur). Hentikan saling menyalahkan. Hentikan sikap merasa paling benar. Tak perlu menunjuk jari karena ”AKU”, ”ANDA”, ”DIA” dan ”KITA” adalah mungkin termasuk dalam daftar nama orang-orang yang perlu disyahadatkan kembali. Bukankah setiap satu jari ditunjuk ke orang lain empat jari lainnya menunjuk ANDA ? Wallahu a’lam bisshawab.

Senin, 25 Februari 2008

Membumikan Ekonomi Syariah

MEMBUMIKAN SISTEM EKONOMI SYARI’AH[1]

Oleh :
Ahsanul Fuad Saragih[2]


Pengantar

Sebagai Muslim, sebagai orang yang tertindas atau orang yang merasa terpinggirkan (petani, buruh, nelayan, muslim) sudah selayaknya kita menolak secara terus menerus penerapan konsep dan sistem ekonomi kapitalis karena telah terbukti merugikan alam, umat, hubungan antara manusia, masa depan kita serta kehidupan setelah dunia ini. Sebenarnya resistensi terhadap ekonomi kapitalis ini sudah lama mulai dari Karl Marx, penganut sosialis dan akhir-akhir ini umat Islam.

Islam sebagai “way of life” yang mengatur semua segi kehidupan juga memiliki filosofi dan konsep ekonomi yang sesuai dengan tuntutan Allah dan dipraktikkan oleh Nabi Muhammad SAW beserta para sahabatnya. Output dari penerapan ekonomi berdasarkan tuntutan Allah SWT ini telah membuktikan lahirnya masyarakat madani yang marhamah material dan spiritual. Sehinga Quran menyebutnya sebagai “khaira ummat, atau ummatan washatan”. Apakah kita masih bisa mewujudkan masyarakat seperti ini ? Jawabannya bergantung sampai sejauh mana kesediaan kita untuk mengambil tugas dalam mewujudkannya –tentunya sesuai dengan keahlian dan kemampuan masing-masing. Tugas itu harus dimulai dari diri sendiri, dari yang kecil, dari saat ini juga, demikian papar Abdullah Gymnastiar ketika berbicara mengenai strategi untuk berubah.

Ada apa dengan Ekonomi Kapitalis

Tak ada keraguan bahwa ilmu ekonomi konvensional telah mencapai tingkat sofistikasi intelektual yang sangat besar. Namun bukanlah sofistikasi suatu disiplin yang diinginkan oleh manusia. Mereka lebih menginginkan bagaimana ilmu itu dapat membantu umat manusia merealisasikan sasaran-sasaran humanitariannya, yang ada di setiap kepala orang adalah keadilan dan kesejahteraan umum. Di sinilah ilmu ekonomi konvensional gagal. Mengapa demikian ? Jawabannya barangkali terletak pada anatemanya terhadap penilaian (value judgement) dan penekanan yang berlebihan pada maksimalisasi kekayaan dan pemuasan keinginan serta pengumbaran kepentingan diri sendiri individual. Sejauh yang dikaitkan dengan kepentingan sosial, para ekonom konvensional pada umumnya menganggap bahwa persaingan akan membantu menggerakkan kepentingan diri sendiri dan pada gilirannya memenuhi kepentingan sosial.

Di sinilah timbul pertanyaan apakah maksimalisasi kekayaan dan pemuasan keinginan adalah hal yang benar-benar diperlukan untuk mengoptimalkan kesejahteraan umat manusia atau masih juga diperlukan adanya kedamaian mental dan kebahagiaan, solidaritas sosial dan keluarga, pengasuhan yang mencukupi bagi anak-anak, pemenuhan kebutuhan pokok bagi semua individu dalam masyarakat, dan distribusi kekayaan yang adil. Jika semua masalah ini penting, persoalannya adalah apakah pelampiasan kepentingan diri oleh tiap-tiap individu secara otomatis akan membantu realisasinya.

Upaya untuk melayani kepentingan diri sendiri tanpa kontrol moral pada gilirannya akan menghancurkan masyarakat. Ini disebabkan bukan hanya pasar di mana manusia saling berinteraksi satu sama lain, melainkan juga dalam keluarga, masyarakat, dan pemerintah. Manusia merupakan faktor yang paling penting dalam pasar dan satu-satunya sumber bagi faktor ini adalah keluarga. Input manusia akan cenderung baik hanya jika lembaga keluarga beroperasi secara efektif dan tetap terintegrasi. Ini hanya mungkin jika terdapat cinta dan kasih sayang antara suami dan isteri. Cinta dan kasih sayang meningkat jika suami dan isteri bersedia memberikan pengobanan yang besar bagi kebahagiaan yang lain. Nilai-nilai morallah yang memotivasi orang untuk melakukan pengorbanan demikian. Ilmu ekonomi konvensional yang memberikan penekanan berlebihan pada pengumbaran nafsu diri sendiri, tidak memiliki ruang dalam analisisnya bagi pengorbanan demikian. Oleh karena itu, disintegrasi keluarga kini sedang menggejala dengan cepat di sejumlah negara yang mengabdi pada budaya materialis.

Oleh karena itu, ngototnya ilmu ekonomi konvensional untuk hanya mengambil variabel-variabel ekonomi dalam menjelaskan jatuh bangunnya suatu masyarakat sangatlah tidak sehat. Di samping variabel-variabel ekonomi, perlu juga memasukkan faktor-faktor moral psikologis, sosial, politik, dan sejarah yang berpengaruh terhadap manusia. Ini akan menuntut suatu pendekatan lintas disiplin. Tentu saja ini akan lebih sulit, namun akan lebih berguna karena memungkinkan kita menjelaskan sejumlah fenomena yang tidak dapat dijelaskan oleh ilmu ekonomi konvensional.

Berkaitan dengan dengan Kapitalisme Sayed Nawab Haider Naqwi menyebutkan bahwa :

1. Kapitalisme gagal mengejewantahkan kesatuan kehidupan dengan penekanan yang belebihan pada nilai material manusia dngan mengorbankan dimensi spiritualitasnya.

2. Kapitalisme merusak keseimbangan alam dengan terpusatnya kekayaan pada segelintir orang.

3. Kapitalisme sangat menekan pemilikan individu secara mutlak dan menafikan kemutlakan pemilikan Tuhan.

4. Kapitalisme tidak memperhatikan tanggungjawab kolektif (sosial).

Sedang menurut Syahid Muhammad Baqir Ash-Shadr , kapitalisme adalah suatu sistem yang ultra matrialisme yang hanya mementingkan keuntungan-keuntungan material semata dan mengasingkan manusia dari agama dan kerohanaain. Lebih lanjut Baqir Ash-Shadr menyebut keburukan kapitalisme adalah berkuasanya kaum mayoritas atas minoritas. Lebih dari itu kaum borjuis juga mengeksploitasi kelas proletar. Kaum kapitalis melihat segala sesuatunya dari sudut materialisme dan mengabaikan aspek moral.

Apakah Ekonomi Islam Itu ?

Sebelum menjelaskan apa ekonomi Islam itu perlu diajukan sebuah pertanyaan : ” Apakah ada suatu mazhab ekonomi dalam Islam ?” Ini kajian tentang sebuah pertanyaan beserta jawabannya. Jawaban kita terhadap pertanyaan di atas adalah, ya.

Suatu mazhab ekonomi bertujuan meletakkan suatu kebijakan bagi pengaturan kehidupan ekonomi atas dasar yang adil. Oleh sebab itu bila kita mempertanyakan apakah ada suatu mazhab ekonomi dalam Islam, kita hendak mengetahui apakah Islam telah meletakkan suatu kebijakan untuk mengatur kehidupan ekonomi dalam masyarakat manusia seperti yang dilakukan kapitalisme, misalnya, ketika ia menyatakan kebijakan umum kehidupan ekonominya pada dasar ekonomi bebas. Mengapa ini Dipertanyakan ? Kita memerlukan jawaban atas pertanyaan ini karena beberapa alasan, barangkali yang paling penting dari padanya ialah fakta bahwa Islam mencela kapitalisme maupun marxisme, yaitu dua sistem yang berkuasa di dunia hari ini. Tentu saja kaum Muslimin mengharapkan Islam memproduksi suatu sistem yang khas bagi mereka. Bagaimanapun, umat Islam, seperti masyarakat lainnya, memerlukan suatu kebijakan ekonomi.

Kembali ke pangkal pertanyaan. Apakah Ekonomi Islam itu ? Ekonomi Islam adalah ekonomi yang berdasarkan ketuhanan. Sistem ini bertitik tolak dari Allah, bertujuan akhir kepada Allah, dan menggunakan sarana yang tidak lepas dari syariat Allah.

Aktifitas ekonomi seperti – produksi, distribusi, konsumsi, impor, ekspor tidak lepas dari titik tolak ketuhanan dan bertujuan akhir untuk Tuhan. Kalau seorang muslim bekerja dalam bidang produksi maka itu tidak lain karena ingin memenuhi perintah Allah.

”Dialah yang menjadikan bumi ini mudah bagi kamu. Maka berjalanlah di segala penjurunya dan makanlah sebagian dari rezekiNya dan hanya kepadaNyalah kamu (kembali setelah) dibangkitkan.” (Al-Mulk : 15)

Ketika menanam, seorang muslim merasa bahwa yang ia kerjakan adalah ibadah karena Allah. Begitu juga ketika ia sdang membajak, menganyam, ataupun berdagang. Makin tekun ia bekerja, makin takwa ia kepada Allah, bertambah rapi pekerjaannya, bertambah dekat ia kepadaNya.

Ketika ia menggunakan atau menikmati sesuatu di dunia ini, secara tidak langsung ia juga telah beribadah dan memenuhi perintah Tuhan.

”Hai sekalian manusia, makanlah yang halal lagi baik dari apa yang terdapat di bumi... ” (al-Baqarah : 168)

Ia memanfaatkan kenikmatan dunia ini secukupnya, tidak berlebihan, dan tidak juga terlalu mengikat pinggang. Sikap ”pertengahan” ini tidak disia-siakan Allah, bahkan dinilai sebagai suatu ketaatan kepadaNya.

”Hai anak Adam, pakailah pakaianmu yang indah di setiap (memasuki) mesjid, makanlah dan minumlah, serta janganlah berlebih-lebihan, sesungguhnya Allah tidak suka dengan orang yang berlebih-lebihan.” (al-A’raf : 31)

Ketika seorang muslim menikmati berbagai kebaikan, terbetik dalam hatinya bahwa semua itu adalah rezeki yang diberikan Allah kepada hambaNya. Maka merupakan suatu kewajiban bagi seorang muslim untuk menyukuri segala nikmat itu.

”Hai orang-orang yang beriman, makanlah di antara rezeki yang baik-baik yang Kami berikan kepadamu, dan bersyukurlah kepada Allah jika benar-benar hanya kepadaNyalah kamu menyembah.” (Al-Baqarah : 172)

Ketika seorang muslim hendak membeli dan menjual, menyimpan, dan meminjam, atau menginvestasikan uang, ia selalu berdiri pada batas-batas yang telah ditetapkan Allah. Ia tidak memakan uang haram, memonopoli milik rakyat, korupsi, mencuri, berjudi, atapun melakukan suap menyuap. Seorang muslim secara tegas menjauhi daerah yang diharamkan Allah, di samping berusaha semaksimal mungkin meninggalkan daerah syubhat.

Empat Landasan Filofis Ilmu Ekonomi Islam

Setidaknya ada empat landasan filosofis ilmu ekonomi Islam yang merupakan paradigma yang membedakannya dari ilmu ekonomi konvensional. Landasan filosofis tersebut adalah, tauhid, keadilan dan keseimbangan, kebebasan dan tanggungjawab.

Pertama, tauhid. Tauhid adalah landasan filosofis yang paling fundamental bagi kehidupan manusia. Dalam pandangan dunia holistik ini, tauhid bukanlah hanya ajaran tentang kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa, tetapi lebih jauh mencakup pengaturan tentang sikap manusia terhadap Tuhan dan terhadap sumber-sumber daya baik manusia meupun alam sebagai ciptaan Tuhan Yang Maha Esa.

Manusia sebagai pelaku ekonomi hanyalah sekedar trustee (pemegang amanah). Oleh sebab itu, manusia harus mengikuti ketentuan Allah dalam segala aktifitasnya, termasuk aktifitas ekonomi. Ketentuan Allah yang harus dipatuhi dalam hal ini tidak hanya bersifat mekanistis dalam alam dan kehidupan sosial, tetapi juga yang bersifat etis dan moral (uluhiyah).

Penjabaran tentang implikasi ekonomis dari tauhid ini merupakan fokus utama sekaligus sebagai corak tersendiri dalam analisisis tentang ilmu ekonomi Islam. Sebagaimana diketahui dalam analisis ilmu ekonomi Islam, unit operasional terkecil bukanlah ”manusia ekonomi”, melainkan manusia sebagai agen langsung atau wakil Allah (khalifah) dalam proses penciptaannya.

Konsep khalifah, atau dalam pengertian pengelolaan disebut khilafah, menyediakan basis bagi sistem perekonomian dimana kerjasama dan gotong royong, atau yang disebut co-determinasi (Thoby Mutis), menggantikan kompetisi yang selama ini menjadi ciri dominan dalam proses interaksi ekonomi. Kalupun ada, kemungkinan hanya kompetisi pada tingkat keberhasilan yang berbeda dalam memperoleh materi. Seperti juga halnya dalam konsep kepemilikan, dimana kepemilikan dalam ekonomi Islam sebenarnya hanya merupakan pemeliharaan milik Tuhan, dan bukan hak mutlak perorangan. Konsep pengelolaan berarti bahwa mereka yang berhasil memperoleh kemakmuran haruslah tanpa mengorbankan orang lain, dan kemudian menggunakannnya untuk menolong sesama.

Dari beberapa penjelasan di atas dapat dilihat betapa konsep tauhid dalam Islam benar-benar memberikan implikasi ekonomis dalam aktifitas ekonomi Islam. Hal ini dapat juga dilihat secara langsung dari instrumen-instrumen ekonominya seperti zakat, infaq, sadaqah, penolakan terhadap riba yang pada dasarnya merupakan ajaran-ajaran Islam yang berbasis pada tauhid.

Kedua, keadilan dan keseimbangan. Keadilan dan keseimbangan ditegaskan dalam beberapa ayat al-Quran dan sekaligus menjadi dasar kesejahteraan hidup manusia. Oleh sebab itu, seluruh kebijaksaan dan kegiatan ekonomi harus dilandasi paham keadilan dan keseimbangan. Sistem ekonomi haruslah secara insrinsik membawa nilai keadilan dan keseimbangan. Keadilan dan keseimbangan seara alamiah dapat dilihat dari hukum dan tatanan yang harmonis alam semesta (sunnatullah). Walaupun demikian, keadilan dan keharmonisan bukanlah hanya karakteristik alami saja, melainkan sebagai suatu hal yang harus diperjuangkan keberadaannya di dalam kehidupan ini.

Dalam ekonomi Islam, keadailan dan keseimbangan harus tercermin pada terwujudnya pertumbuhan dan pemerataan ekonomi, sebab keduanya merupakan dua sisi dari satu entitas. Pembangunan dengan demikian bukan berarti pertumbuhan pendapatan secara nominal, melainkan juga distribusi pendapatan tersebut secara merata. Sumber daya pada hakikatnya adalah anugerah dari Allah, oleh karena itu tidak beralasan kalau kekayaan itu hanya terpusat pada segelintir orang saja.

Konsep keadilan Islam dalam pembagian pendapatan dan kekayaan bukanlah berarti bahwa setiap orang harus menerima imbalan sama persis tanpa mempertimbangkan kontribusinya kepada masyarakat. Islam membolehkan adanya perbedaan pendapatan, karena memang manusia diciptakan tidak sama watak, kemampuan (potensi) dan pengabdiannya kepada masyarakat.

Ada beberapa syarat yang menentukan terciptanya keseimbangan dan keadilan di tengah-tengah masyarakat, yaitu : pertama, hubungan-hubungan dasar antara konsumsi, distribusi dan produksi harus berhenti pada suatu keseimbangan tertentu demi menghindarkan pemusatan kekuasaan ekonomi dan bisnis dalam genggaman segelintir orang. Kedua, keadaan perekonomian yang tidak konsisten dalam distribusi pendapatan dan kekayaan harus ditolak, karena Islam menolak daur tertutup pendaptan dan kekayaan yang menajdi semakin menyempit (al-Quran 59 : 7). Ketiga, sebagai akibat dari pengaruh sikap egalitarian, maka dalam ekonomi Islam tidak mengakui adanya hak milik yang terbatas maupun sistem pasar yang bebas tak terkendali. Hal ini disebabkan bahwa ekonimi dalam pandangan Islam bertujuan untuk menciptakan keadilan sosial. Kualitas keseimbangan akan menguasai cakrawala ekonomi dalam ekonomi Islam dengan menyingkirkan struktur pasar yang eksploitatif maupun perilaku atomistik yang egois dari para agen ekonomi dan bisnis.

Ketiga, kebebasan. Kebebasan mengandung pengertian bahwa manusia beas melakukan seluruh aktifitas ekonomi sepanjang tidak ada ketentuan Tuhan yang melarangnya. Manusia mempunyai kebebasan untuk membuat suatu keputusan ekonomis yang berhubungan dengan pemenuhan kebutuhan hidupnya karena dengan kebebasan itu pula manusia dapat mengoptimalkan potensinya dengan melakukan inovasi-inovasi dalam kegiatan ekonomi.

Cukup beralasan jika di dalam fikih mu’amalah berlaku sebuah kaedah, pada dasarnya sebuah aktifitas mu’amalah itu diperbolehkan selama tidak ada dalil yang melarangnya. Konsekuensi dari kaedah ini adalah, dalam aktifitas mu’amalah (ekonomi Islam) manusia diberikan kebebasan yang seluas-luasnya untuk mengembangkan kreatifitasnya, melakukan inovasi-inovasi ekonomi sesuai dengan kebutuhan manusia (pasar) yang terus menerus mengalami perubahan.

Walaupun demikian di dalam ajran Islam makna kebebasan bukan dalam makna liberalisme, melainkan sangat terkait dengan niali tauhid dan pengaruhnya dalam membentuk kepribadian diri, karena segala sesuatu hanya dipertanggung-jawabkan sebagai pribadi di hadapan Allah. Sehingga dengan kebebasan yang bertanggungjawab itu pula akan melahirkan nilai pengabdian (ibadah) hamba kepada Allah sebagai pemilik dan pengusa alam semesta (the Creator of Universe).

Keempat, tanggung jawab. Pertanggungjawaban adalah konsekuensi logis dari kebebasan yang diberikan Allah kepada manusia. Kebebasan dalam mengelola sumber daya alam dan kebebasan dalam melakukan aktifitas ekonomi inilah yang sejatinya akan dipertanggungjawabkan manusia di hadapan Allah nantinya. Dalam al-Quran disebutkan bahwa salah satu makana amanah adalah kebebasan. Dengan kata lain, kebebasan itu sendiri adalah amanah Allah yang harus diimplementasikan manusia dalam aktifitas kehidupannya. Oleh karenanya, perlu ditetapkan batasan apa yang bebas dilakukan manusia dengan tetap bertanggung jawab atas semua yang dilakukannya.

Dari sini terlihat jelas bahwa aksioma kebeaan berhubungan erat dengan aksioma tanggungjawab, sementara tanggung jawab merupakan konsekuensi dari amanah yang diberikan kepada manusia sebagai khalifah Allah. Allah telah memberikan al-Quran sebagai pedoman bagaimana seharusnya manusia mengatur alam ini. Akhirnya manusia diharuskan bertanggung jawab terhadap tindakan apa yang dilakukan.

Pertanggungjawaban manusia ini dapat dipahami pada dua aspek, yaitu aspek transendental (transcendental accountability) dan aspek sosial (social accountability). Aspek transendental yang meyakini adanya hari pembalasan, atau juga sering disebut hari pembalasan (yaum al-hisab). Memiliki peranan penting dalam kehidupan seseorang yang harus mempertanggungjawabkan perbuatannya. Kaena orang yang sadar akan eksistensi hari pembalasan tersebut akan mampun mengartikulasikan kehidupannya dengan sikap dan perilaku yang baik.

Aspek sosial dari pertanggungjawaban merupakan sebuah keniscayaan dari konsekuensi logis manusia sebagai khalifah (trussttes) di muka bumi, sehingga dengan demikian pemahaman tentang doktrin accountability ini seharusnya tidak hanya terbatas dalam konteks spritual saja, melainkan juga harus mencakup proses yang lebih praktis dalam kehidupan sehari-hari.

Prinsip-prinsip ekonomi Islam yang telah diuraikan di atas merupakan bingkai yang melingkupi aktifitas ekonomi manusia. Selama manusia konsisten berjalan di atasnya, maka aktifitas ekonomi manusia akan berlangsung dalam suasana fair, tanpa ada eksploitasi dan bentuk-bentuk kecurangan lainnya. Inilah yang dimaksud dengan aktifitas ekonomi yang dilandasi nilai-nilai etika universal manusia. Setiap manusia tanpa membedakan agama, suku dan bangsa membutuhkan aktifitas ekonomi yang dilandasi nilai-nilai moral tersebut. Teraplikasinya secara tepat nilai-nilai secamam itulah pada akhirnya yang akan mengantarkan manusia dapat mencapai kesejahteraan sejati dalam cita-cita ekonomi Islam.

Tugas Kita Semua

Sebagaimana telah diuraikan di atas bahwa ekonomi kapitalis telah gagal merealisasikan tujuan-tujuannya untuk mensejahterakan manusia. Tentu juga tidak mudah untuk kemudian -dengan serta merta- menempatkan sistem ekonomi Islam sebagai sistem pengganti di Indonesia. Apalagi mengingat sejarah bangsa ini terlanjur tidak memberikan ruang bagi tumbuh dan berkembangnya syariah Islam di negeri tercinta ini. Ternyata hal ini terus berlangsung hingga saat ini. Sebut saja satu contoh tentang penolakan 56 anggota DPR RI terhadap Perda-Perda Syari’ah. Penolakan tersebut bisa terjadi karena phobia terhadap Islam. Untuk yang disebut terakhir tidak menjadi bahasan kita dalam kesempatan ini. Namun bisa saja penolakan-penolakan tersebut dikarenakan ketidakmengertian mereka tentang apa itu syari’ah.

Untuk itu sudah menjadi tugas kita dalam menyosialisasikannya dan memperjuangkannya. Bagaimanapun juga, tugas ini adalah tugas yang maha sulit. Ia menuntut upaya terkoordinasi (jamaah) dan lebih besar. Namun, tampaknya masyarakat sudah mulai siap secara emosional karena memiliki kepercayaan bahwa ekonomi Islam mampu memenuhi maslahat jangka panjang. Tentu masih segar diingatan kita bagaimana bank Muamalat mampu bertahan secara kokoh melewati krisis perbankan pada waktu itu. Fenomena ini menghenyakkan praktisi-praktisi ekonomi dan mulai melirik keberadaan sistem ekonomi Islam.

Justeru pemerintah yang menjadi kendala utama bagi terselenggaranya sistem ekonomi Islam karena mereka dikontrol oleh orang-orang yang mempunyai kepentingan. Sistem ekonomi Islam mengancam kepentingan jangka pendek mereka (meskipun tidak dengan sendirinya kepentingan jangka panjang mereka juga terancam).

Betapapun juga, pihak yang berkepentingan harus menyadari bahwa mereka tidak dapat menahan tarikan gravitasi gagasan-gagasan humnitarian Islam dari dukungan publik yang kuat. Gerakan pembaharuan Islam yang kini memperoleh mementum di negara-negara muslim akan bergerak cepat dan menghadapi semua kekuatan perlawanan. Karena itu, kelompok yang berkepentingan pasti akan tersapu bersih seperti yang diprediksi oleh al-Quran, ”Adapun buih, ia akan hilang bagai sesuatu yang tidak berguna, dan adapun yang memberi manfaat kepada manusia, maka ia akan tetap tinggal di bumi (ar-Ra’d : 17).

Penutup

Di barisan manakah kita dalam perjuangan ini ? dan sudah di tangga ke berapakah kita dalam membumikan ekonomi Islam di Indonesia ? Mari kita mulai dengan IBDA’ BINAFSIK.



[1] Disampaikan dalam forum diskusi terbatas “Forum Diskusi Insan Cita” tanggal 7 Desember 2007

[2] Penulis adalah praktisi ekonomi syariah yang saat ini menjabat sebagai Operation and Bussiness Development PT. MBI, Mahasiswa Program Studi Ekonomi Syariah Pasca Sarjana IAIN Sumatera Utara.

Menggagas Konsep Ritel Syari'ah

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Bisnis ritel sebenarnya sudah dimulai sejak belum ditemukannya alat pembayaran. Pada masa itu aktivitas ritel telah muncul dengan pola barter- tukar menukar barang. Di era modern, tepatnya pada abad ke 17, toko serba ada modern telah beroperasi di Jepang. Perkembangan berikutnya tepatnya di abad 19 toko serba ada yang besar dibangun di kota-kota di Amerika Serikat, antara lain, Sears, Montgomery Ward, dan JC Penney’s. Setelah perang Dunia II, pelaku bisnis ritel besar bermunculan di Amerika Serikat, seperti K-mart, Target, dan Wal mart dengan moto harga rendah, penjualan tinggi.

Apabila dilihat perjalanannya, bisnis ritel merupakan bisnis yang tua dan sangat cepat mengalami pertumbuhan. Untuk menyebutnya sebagai contoh misalnya bahwa dalam kurun waktu tiga tahun belakangan ini, pertumbuhan pasar dan toko di Indonesia sangat tinggi, bahkan tertinggi di antara negara-negara di Asia Tenggara. Penyebabnya, jumlah penduduk yang besar serta mulai membaiknya pertumbuhan ekonomi dan indeks kepercayaan konsumen. Namun di sisi lain ternyata kehadiran ritel modern terus mengancam keberadaan ritel tradisional. Ini terlihat dari berkurangnya pasar ritel tradisional di kisaran 2%-5% yang terjadi setiap tahun. Periode sampai tahun 2007, komposisi ritel tradisional dengan ritel modern, 65% banding 35%. Sedangkan kontribusi sektor perdagangan terhadap produk domestik bruto (PDRB) mencapai 20%-25%. Sementara dari pertumbuhan sales ritel di 2007, mencapai 17% dengan volume sebesar Rp 58,5 trilyun. Di 2008 ini, ditargetkan pertumbuhan sales ritel 15% dari tahun 2007. Melihat sektor perdagangan yang cukup besar ke PDRB tersebut, perlu dukungan pemerintah untuk memperkuat ritel tradisional.

Di tengah semakin berkurangnya pasar tradisionil tersebut pada tanggal 17 Desember 2007 lalu PT Carrefour Indonesia menandatangani nota kesepahaman dengan pemegang saham utama Alfa, PT Sigmantara Alfindo dan Prime Horizon Pte Ltd. Selanjutnya Carrefour akan memulai negosiasi untuk memiliki 75 persen saham Alfa. Akuisisi Alfa oleh Carrefour dikhawatirkan tidak hanya akan menggusur pasar tradisional, tapi juga peritel moderen lokal. Sebab, dengan akuisisi itu, Carrefour dapat ekspansi dalam bentuk minimarket yang hanya boleh dimiliki pemain lokal. Kalau akuisisi itu terjadi, maka lengkap dan sempurnalah asing menjajah Indonesia, ujar Ketua Asosiasi Pengusaha Pemasok Pasar Modern Indonesia Susanto pada Tempo, Rabu (2/1) di Jakarta. Pasalnya, menurut dia, ritel sebagai sektor yang sangat krusial karena menyangkut hajat hidup orang banyak. "Jika sektor ini sudah dikuasai asing, bahkan dalam bentuk terkecil yang terdekat dengan masyarakat, maka asing bisa menentukan mulai dari jenis hingga harga dari produk yang banyak dikonsumsi masyarakat," kata Susanto.

Pengelolaan bisnis ritel dengan format pasar modern semacam Carrefour memang memberikan alternatif belanja yang menarik bagi konsumen. Selain menawarkan kenyamanan dan kualitas produk, harga yang ditawarkan juga cukup bersaing dibandingkan dengan pasar tradisional, hal ini dimungkinkan mengingat besarnya kemampuan modal para peritel modern tersebut. Dengan skala ekonomi yang lebih besar, pasar modern dapat mempersempit jalur distribusi sehingga mampu menawarkan harga yang jauh lebih kompetitif kepada konsumen. Keadaan ini jelas menjadi permasalahan dan membuat risau para pedagang skala kecil.

Permasalahan lain yang timbul adalah dominasi peritel modern terhadap pemasok, terutama pemasok dalam skala Usaha Kecil Menengah (UKM). Masalah ini seringkali dilontarkan pelaku usaha UKM karena ketidakmampuannya untuk melakukan negosiasi dengan pelaku usaha ritel besar yang mempunyai format ritel yang beragam. Isu ini terus berkembang sebagai akibat lemahnya posisi tawar dari pemasok terhadap peritel besar sehingga mengakibatkan perilaku tidak adil kepada pemasok (abuse of dominant position).

Penguasaan modal maupun jalur distribusi yang kuat yang dimiliki peritel besar dapat mempengaruhi kegiatan pesaingnya (secara horizontal) maupun supplier/agen (secara vertical). Dalam bisnis ini terdapat biaya yang diperlakukan oleh perusahaan pengecer modern seperti : kondisi diskon, opening fee, listing fee, rabate/rabat, dan biaya promosi yang nilainya harus dinegosiasikan antar perusahaan pemasok dan perusahaan pengecer modern, atau apabila sebelumnya perusahaan pemasok telah menjual produknya kepada perusahaan peritel lain, maka yang terjadi, produk perusahaan pemasok bisa dikeluarkan dari perusahaan pengecer modern.

Berbagai permasalahan di atas memerlukan regulasi yang tepat sehingga diharapkan akan mampu mengatasi berbagai dampak dari perkembangan dari sektor ritel itu sendiri. Pada saat ini yang terjadi justru berbagai bentuk regulasi yang ada belum dapat mengantisipasi kompleksnya permasalahan yang timbul.

Namun menurut hemat penulis persoalannya sebenarnya tidak hanya terletak pada regulasi apalagi mengingat enforcement of law di negeri ini masih tergolong rendah. Jika kita telisik lebih dalam pokok pangkalnya terletak pada sistem nilai yang menjadi fondasi bangunan entitas bisnis tersebut. Jika sistem nilainya adalah kapitalisme maka produk turunannya akan menciptakan realitas materialistic dan individualistic. Kalau sudah demikian maka menjadi wajarlah jika timbul permasalahan-permasalahan sebagai tersebut di atas. Di sinilah letak benang merah perlunya segera menggagas konsep ritel yang berdasarkan syari’ah. Mengapa demikian ? Karena Islam tidak pernah memisahkan ekonomi dan etika, sebagaimana juga tidak memisahkan antara pertumbuhan dan distribusi/keadilan.

B. Permasalahan

Sebagaimana uraian terdahulu bahwa permasalahan di atas sebenarnya tidak melulu berkisar pada persoalan regulasi tetapi berpokok pangkal pada sistem nilai yang membentuk realitas permasalahan tersebut. Yang menjadi permasalahan yang akan kita hadapi sekarang adalah bagaimana membangun konsep dan praktek Ritel Syariah. Untuk menjawab hal itu maka dekonstruksi ritel kapitalis untuk rekonstruksi konsep ritel syariah mutlak perlu. Pada tahap awal dapat dimulai dari pendekatan normatif yaitu dengan mengumpulkan dan menyusun konsep ritel syariah yang bisa dimulai dari membangun landasan etik ritel syariah. Secara berkembang terus dilengkapi dengan pendekatan empiris, positif, induktif. Kalau pendekatan empiris yang kita harapkan untuk melakukan dekonstruksi sebenarnya lahan percobaannya sudah ada yaitu dengan berdirinya Super Market Madinah Syariah yang terletak di Plaza Millenium Jalan Kapten Muslim nomor 111 Medan. Dua pendekatan di atas “deconstruction” dan “reconstruction” sebenarnya komplementer untuk mewujudkan konsep ritel syariah

Mengingat pentingnya topik ini maka permasalahan pokok yang akan diangkat sebagai kajian utama adalah bagaimana konsep dalam membangun bisnis ritel secara syari’ah. Kemudian timbul permasalahan lain : Apakah konsep ritel syariah ini akan dapat memenuhi kebutuhan masyarakat yang nota bene telah dibentuk oleh sistem nilai kapitalistik ? Untuk mendapatkan jawaban yang memadai dalam keterbatasan yang ada, maka diperlukan penjabaran dalam bentuk sub-sub masalah sebagai berikut :

1. Dasar-dasar Kode Etik Islami Bagi Para Pelaku Bisnis.

2. Norma dan Etika di dalam Ritel Syariah.

3. Potensi dan peluang Ritel Syari’ah

C. Metodologi

1. Sumber penelitian

Data yang diambil untuk makalah ini diambil dengan metode Library Research. Penulis mengkaji beberapa literatur yang relevan dengan judul makalah ini.

2. Metode Analisis

Metode yang dipilih dalam melakukan analisis terhadap data yang diperoleh adalah menggunakan metode deskriptif. Menurut Witheney, penelitian deskriptif akan mempelajari masalah-masalah dalam masyarakat, tata cara yang berlaku dalam masyarakat, serta situasi-situasi tertentu termasuk hubungan kegiatan-kegiatan, sikap-sikap pandangan-pandangan serta proses-proses yang sedang berlangsung dan pengaruh-pengaruh dari suatu fenomena. Makalah ini akan mengembangkan suatu frame work analitik-sistematik yang berisi nilai-nilai etis Islam yang bisa digunakan sebagai dasar dalam melakukan deduksi logis terhadap pedoman beroperasinya bisnis ritel secara syariah.

BAB II

PEMBAHASAN

Dialektika dunia bisnis akan senantiasa berinteraksi dengan sistem sosial yang melingkupinya yang sangat kompleks dengan melibatkan tidak saja teori-teori ekonomi-bisnis rasional dari yang bercorak sosial sampai yang bercorak liberal-kapitalis, tetapi juga individu-individu manusia yang heterogen dan dinamis yang terlibat baik secara langsung atau tidak dalam kegiatan bisnis. Interaksi ini tidak lain merupakan jaringan-jaringan sistem yang sedang diterapkan, di mana baik interaksi maupun jaringan-jaringan sistem tersebut mengikat manusia dalam gerak dan pola yang dimiliki oleh sistem yang bersangkutan.

Sistem, beserta jaringan-jaringannya, adalah produk manusia dan masyarakatnya. Secara ontologis, ini memberikan pengertian kepada kita bahwa sistem tersebut dibangun berdasarkan atas nilai-nilai yang dimiliki oleh manusia yang membangunnya. Ketika, misalnya, sebuah sistem dibangun berdasarkan pada nilai-nilai kapitalisme, maka sistem tersebut, ketika dipraktikkan, akan menjaring setiap individu yang ada dalam masyarakat yang bersangkutan kepada realitas kapitalis ; demikian juga bila sistem tersebut dibangun dengan nilai-nilai yang lain.

Dalam bisnis ritel yang dikembangkan saat ini, kita melihat bahwa sistem nilai yang dipakai adalah sistem kapitalis sehingga realitas yang dihasilkannya adalah realitas kapitalis. Tidak dapat dipungkuri bahwa cengkraman sistem nilai kapitalis ini telah banyak menimbulkan kerusakan. Hal ini sangat mudah dipahami karena pondasi utama dari sistem ini adalah nilai-nilai materialisme yang mendorong manusia untuk menempatkan materi sebagai ukuran dan tujuan. Akibatnya sistem nilai ini menggerus nilai-nilai fitrah manusia dan menggantikannya dengan sifat-sifat hewan bahkan lebih keji dari hewan sebagaimana Allah SWT berfirman :

Dan sesungguhnya Kami jadikan untuk isi nereka Jahannam kebanyakan dari jin dan manusia, mereka mempunyai hati, tetapi tidak dipergukan untuk memahami (ayat-ayat Allah) dan mereka mempunyai mata (tetapi) tidak dipergunakannya untuk melihat (tanda-tanda kekuasaan Allah), dan mereka mempunyai telinga (tetapi) tidak dipergunakannya untuk mendengar (ayat-ayat Allah). Mereka itu sebagai binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat lagi. Meraka itulah orang-orang yang lalai. (QS. 7:179)

Sifat-sifat kehewanan inilah yang mendorong manusia berlaku tamak sehingga realitas bisnis yang dijalankannya tidak lagi memikirkan kemaslahatan hajat hidup orang banyak. Contoh permasalahan-permasalahan yang diangkat dalam bab latar belakang makalah ini merupakan sekelumit produk turunan dari sistem kapitalis tersebut. Tidak ada jalan keluar lain dalam mengatasi permasalahan tersebut kecuali dengan menghadirkan kembali fitrah manusia.

Sehubungan dengan hal tersebut pada bagian ini penulis mencoba mencari sistem nilai etika yang sesuai dengan fitrah manusia dan meletakkannya menjadi dasar-dasar kode etik Islam dalam menjalankan bisnis ritel syari’ah. Perumusan kode etik ini sekaligus dapat disebut sebagai mendekonstruksi praktek ritel konvensional yang berlaku saat ini.


1. DASAR-DASAR KODE ETIK ISLAMI BAGI PARA PELAKU BISNIS.

Pertama: Penamaan Dan Makna Kode Etik Islami Bagi Para Pelaku Bisnis

Mitsaq secara bahasa berarti perjanjian, perserikatan, janji setia, dan kesetiaan. Hal ini digambarkan dengan firman Allah,

"Dan ingatlah akan karunia Allah kepadamu dan perjanjiannya yang telah diikatkanNya dengan kamu" (QS. al-Maidah : 7)

"Yaitu orang-orang yang memenuhi janji Allah dan merusak perjanjian." (QS. al-Ra'd : 20)

Kaum muslim generasi pertama telah bersumpah untuk mematuhi kewajiban-kewajiban dalam Islam dengan memberi perjanjian dan sumpah setia (bai'ah). Terkait dengan hal ini maka yang dimaksud dengan kode etik islami adalah, perjanjian yang diambil oleh para pelaku bisnis terhadap dirinya sendiri mengenai sejumlah etika, contohnya etika hukum, etika moral, etika prilaku, etika seni, dan lain-lain, yang berlaku sebagai petunjuk dalam berbisnis; dan menjadi sebuah standar dalam mengevaluasi bisnis yang dijalankan dan juga dalam menetapkan hukum ketika terjadi kelalaian atau pelanggaran.

Tema etika dalam kode ini biasanya berarti bentuk prinsip-prinsip dan harapan yang harus ditaati para pelaku bisnis dalam bertransaksi, bertingkah laku, dan dalam menjalin hubungan bisnis agar dapat mencapai tujuan. Beberapa hal penting dalam kode etik ini adalah:

1. Berasal dari sumber-sumber asli syariat dan sesuai dengan firman Allah.

2. Menggunakan asas komprehensivitas (syumuliyah) yang memberi perhatian terhadap semua jenis etika, baik itu moral, seni, atau abstrak.

3. Fokus utamanya adalah sektor bisnis dan tidak menutup kemungkinan untuk dapat diterapkan pada sektor-sektor lain.

4. Kode etik ini dapat pula diaplikasikan kepada semua pengusaha tanpa diskriminasi agama, ras, atau etnik, selama itu masih selaras dengan nilai-nilai kemanusiaan.

Kedua: Sasaran Kode Etik Islami Bagi Para Pelaku Bisnis

Kode etik Islami bagi para pelaku bisnis memiliki beberapa sasaran utama:

  1. Membentuk kaidah Islam yang mengatur, mengem­bangkan dan memperlihatkan metode-metode bisnis yang disesuaikan dengan bingkai agama.
  2. Kode ini merupakan tolok ukur dalam menentukan tanggung jawab para pelaku bisnis di depan diri sendiri, dalam kalangan komunitas bisnis dan masyarakat mereka, terlebih-lebih di depan Tuhan.
  3. Diletakkan sebagai hukum yang mengatur para pihak, sebagai pengganti hukum pengadilan yang mungkin saja bertentangan dengan hukum Allah.
  4. Kode etik tersebut digunakan untuk turut memecahkan beberapa masalah para pelaku bisnis dan pengusaha terutama berkaitan dengan dunia ekonomi yang dijalankan. Selanjutnya, kode ini juga akan memperkuat ikatan persaudaraan dan kerjasama di antara mereka.
  5. Kode tersebut akan membantu mengembangkan pendidikan dan pelatihan serta seminar-seminar yang melibatkan para pelaku bisnis.
  6. Kode tersebut akan menunjukkan ke seluruh dunia suatu tatanan dan budaya islami, serta akan mewarnai syumuliah dan kemurnian pemikiran Islam.

Ketiga: Prinsip-Prinsip Yang Dikembangkan dalam Kode Etik Islami bagi Para Pelaku Bisnis

Pada pokok persoalannya, kode etik ini bergantung kepada sekumpulan prinsip-prinsip umum. Prinsip-prinsip tersebut disandarkan pada kitab-kitab ushul fiqh umumnya dan pada kitab-kitab Fiqh al-Muamalat khususnya. Prinsip-prinsip tersebut ialah:[12]

1. Diarahkan untuk memenuhi tujuan syariat Islam yang digambarkan sebagai pemeliharaan agama seseorang, dirinya, anak-anak, jiwa dan hartanya.

2. Mengacu kepada ketentuan yang tertuang dalam Al-Quran yang mengandung prinsip-prinsip umum yang dirinci dalam sunnah. Kemudian dilanjutkan oleh sahabat yang melakukan Ijtihad (untuk menyelesaikan masalah), apabila tidak ada dalam al-Quran dan hadits yang menjelaskan tentang permasalahan tersebut.

3. Tidak diperbolehkan mengurangi aturan-aturan syariat, sehingga dapat dicampurkan dengan konsep-konsep kontemporer dan teori-teori yang tidak sesuai dengan sumbernya.

4. Transaksi tidak boleh menimbulkan hilangnya hak, kelalaian akan tugas atau menentang ketentuan Allah.

5. Semua kesepakatan dan transaksi bisnis, kecuali yang dilarang dalam teks al-Quran atau sunnah, diperbolehkan selama membawa maslahat.

6. Kesepakatan-kesepakatan yang menyebabkan hilangnya hak milik orang lain secara tidak adil dan membawa kepada kecurangan adalah tidak sah.

7. Jika bukti-bukti, dalam kondisi tertentu, cenderung meragukan atau hanya merupakan kemungkinan belaka, maka itu menjadi tidak sah. Dengan kata lain, hal itu tidak dapat dijadikan sandaran dalam menetapkan hukum yang sah dan yang dilarang.

8. Hati-hati dirugikan oleh orang lain atau membuat orang lain menderita. Jika dihadapkan oleh dua situasi yang membawa kemudharatan, maka kita harus memilih yang paling sedikit menimbulkan kemudharatan. Bahaya seseorang haruslah dipikul untuk mencegah bahaya sekumpulan orang.

9. Kebutuhan diukur dengan kepentingannya. Batas-batas kebutuhan yang sah adalah:

  1. Hanya sebagai alternatif, karena kalau tidak maka sesorang akan membahayakan hidupnya jika ia tidak melakukan sesuatu itu.
  2. Kebutuhan haruslah sudah ada dan bukan keadaan yang mendadak.
  3. Tidak menyisakan kebutuhan tapi mengerjakannya
  4. Kebutuhan harus diperkirakan secukupnya

10. Prinsip kebolehan menggunakan apa yang telah dihasilkan oleh pemikiran manusia selama itu tidak bertentangan dengan ketentuan Allah.

11. Prinsip kebolehan membuat perjanjian apa saja dan kepada siapa saja kecuali kepada pelaksanaan apa yang dilarang oleh Allah dan tidak mengerjakan apa yang Allah perintahkan.

12. Tidak boleh ada kontradiksi antara hukum alam dengan apa yang kita lakukan. Apa yang kita lakukan haruslah dibawah aturan-aturan syariat, yang merupakan media tepat untuk beribadah.

13. Prinsip memudahkan urusan orang lain dan menutup jalan untuk korupsi.

14. Al-'Urf (Kebiasaan) harus dilaksanakan dalam transaksi bisnis selama tidak ada teks yang menjelaskan apa yang dimaksud dalam al-Quran atau sunnah.

15. Pada saat melakukan transaksi dan kontrak-kontrak, fokus harus disandarkan pada kandungan dan signifikansi transaksi dan bukan terfokus pada format atau ketentuan-ketentuan mutlak. Karena memahami suatu keadaan adalah hal yang penting dalam penilaian suatu transaksi.

16. Wajib menggunakan cara dan metode untuk mencapai akhir transaksi yang sah.

17. Mencegah terjadinya korupsi lebih penting daripada memembawa keuntungan.

18. Transaksi dan kontrak harus berdasarkan persetujuan bersama dan bukan karena ketundukan kepada seseorang, kecuali apa yang dilarang oleh nash, baik itu al-Quran atau sunnah.

19. Menaruh perhatian yang khusus kepada Tauhid, tingginya moral keimanan, dan keikhlasan demi mencapai kesejahteraan manusia.

2. NORMA DAN ETIKA DI DALAM RITEL SYARIAH.

Yang membedakan Islam dengan materialisme ialah bahwa Islam tidak pernah memisahkan ekonomi dan etika, sebagaimana tidak pernah memisahkan ilmu dengan akhlak. Nabi Muhammad saw bersabda, “Sesungguhnya aku diutus untuk menyempur-nakan akhlak mulia”. Beranjak dari hadits ini maka segenap aktivitas yang dilakukan manusia -tidak terkecuali dalam menjalankan bisnis ritel- harus bermuara dan berakhir pada pencapaian tujuan akhlaq al karimah yang meliputi akhlaq kepada diri sendiri, orang lain, stakeholder dan yang lebih penting adalah akhlak kepada Allah SWT.

Retail is detail, demikian slogan yang sering disebutkan dalam dunia ritel. Memang jika kita melihat kegiatan usaha ini, menuntut pelakunya untuk mampu bekerja sedikit lebih ekstra dibanding –mungkin- dengan jenis kegiatan usaha lainnya. Sebagaimana yang diungkap oleh praktisi ritel yang sudah berpengalaman menyebutkan bahwa bisnis ritel adalah bisnis yang mempunyai margin keuntungan yang sangat tipis. Oleh karenanya efisien dan pelayanan merupakan kata kunci untuk bisa bertahan dalam bisnis ini. Walhasil hampir seluruh proses yang dijalankan harus dilakukan secara detil untuk mencapai efisiensi dan kualitas pelayanan yang prima. Karena yang sedang dibicarakan adalah ritel syariah maka akhlaq al karimah harus tetap merupakan bingkai dari pencapaian efisiensi dan pelayanan tersebut.

Sebagaimana dimaklumi Islam sangat mendorong umatnya untuk ber”fastabiqul khairat” –berlomba-lomba menuju kebaikan. Makna kalimat ini menggeser kata ”competition” yang dilahirkan dari khazanah paham kapitalis. Jika semangat yang dibangun adalah ”fastabiqul khairat” maka realitas bisnis yang terbentuk adalah semangat untuk memberikan yang terbaik kepada stakeholder bukan sebaliknya malah mengalahkan kompetitor. Semangat ”fastabiqul khairat” ini menjadikan ”kompetitor” sebagai mitra bukan pihak yang harus dikalahkan. Inilah salah satu akhlaq yang harus dikembangkan sehingga keberadaan ritel modern tetap menjadi maslahat bagi pasar tradisional. Lalu konsep syari’ah yang bagaimana yang harus dikembangkan dalam bisnis ritel ini ? Dari sekian banyak aspek yang ada maka topik sirkulasi yang paling relevan untuk diulas dalam kesempatan ini.

"SIRKULASI" menurut para ekonom adalah kumpulan perjanjian dan proses yang di porosnya manusia menjalankan aktivitas. Dengan pengertian lain, sirkulasi adalah pendayagunaan barang dan jasa lewat kegiatan jual beli dan simpan pinjam melalui agen, koperasi, dan lain-lain, baik sebagai sarana perdagangan ataupun tukar-menukar barang.

Sirkulasi dalam Islam sangat fleksibel yang membedakannya dengan ciri sosialis yang menolak kebebasan pasar dan tidak sama dengan sistem kapitalis yang menganut pasar bebas.[14] Konsep Islam menegaskan bahwa pasar harus berdiri di atas prinsip persaingan bebas (perfect competition). Namun demikian bukan berarti kebebasan tersebut diartikan secara mutlak tetapi kebebasan yang diikat oleh bingkai aturan syariah.

Dari pemahaman itu, harga sebuah komoditas (barang dan jasa) ditentukan oleh penawaran dan permintaan, perubahan yang terjadi pada harga berhubungan dengan terjadinya perubahan permintaan dan perubahan penawaran. Berkenaan dengan hal ini Rasulullah saw merespons sahabat yang memintanya untuk menentukan harga pada saat harga barang pada ketika itu melambung tinggi dengan bersabda : ”Bahwa Allah adalah Zat yang mencabut dan memberi sesuatu, Zat yang memberi rezeki dan penentu harga...” (HR Abu Daud).

Jika menelisik ashbabul wurud hadits ini maka terlihat bahwa kenaikan harga terjadi karena sebab-sebab yang bersifat darurat dan dengan sendirinya harga akan kembali normal seiring dengan hilangnya sifat darurat tersebut. Penetapan harga menurut Rasul merupakan suatu tindakan yang menzalimi kepentingan para pedagang, karena para pedagang di pasar akan merasa terpaksa untuk menjual barangnya sesuai dengan harga patokan, yang tentunya tidak sesuai dengan keridhaannya.

Kesimpulannya, nilai konsep Islam tidak memberikan ruang intervensi dari pihak manapun untuk menentukan harga, kecuali dan hanya kecuali adanya kondisi darurat yang menuntut pihak terkait mengambil bagian dalam menentukan harga.

Selanjutnya di dalam peraturan sirkulasi atau perdagangan islami terdapat norma, etika agama, dan perikemanusiaan yang menjadi landasan pokok bagi pasar Islam yang bersih. Di antara norma itu adalah sebagai berikut :

A. Larangan Memperdagangkan Barang-Barang Haram

Norma pertama yang ditekankan Islam adalah larangan mengedarkan barang-barang haram, baik dengan cara membeli, menjual, memindahkan, atau cara apa saja untuk memudahkan peredarannya. "Allah melaknat khamar (minuman keras), peminumnya, penyajinya, penjualnya, penyulingnya, pembawanya, dan pemakan hartanya." (HR. Jamaah dari Jabir)

Yang termasuk kategori khamar ialah segala jenis benda yang memabuk-kan dari jenis candu, ganja, morfin, heroin, kokain, dan sebagainya. Barang-barang yang memabukkan ini menyedot banyak kekayaan masyarakat dan mengancam jutaan anak muda. Ikut mengedarkan barang-barang ini berarti ikut bekerja sama dalam perbuatan dosa atau melakukan pelanggaran yang dilarang oleh Allah dan dikecam dalam kitab suci-Nya: "Dan janganlah kamu tolong-menolong dalam berbuat dosa atau pelanggaran dan bertawakallah kamu kepada Allah sesung­guhnya Allah amat berat siksaan-Nya” (QS Al-Maidah : 2).

B. Benar, Menepati Amanat, Dan Jujur

1. Benar (Lurus)

Menurut syariat, banyak bersumpah dalam berdagang adalah makruh karena perbuatan ini mengandung unsur merendahkan nama Allah, juga di-khawatirkan bisa menjerumuskan seseorang ke dalam dusta. Lalu, bagaimana pula jika sumpahnya sejak awal memang bohong? "Empat tipe manusia yang dimurkai Allah: penjual yang suka bersum-pah, orang miskin yang congkak, orang tua renta yang berzina, dan imam yang zalim."(HR. Nasa’i dan Ibnu Hibban). Seseorang yang meremehkan nama Allah dengan maksud melariskan barang dagangannya adalah orang mudah bersumpah hanya agar barang dagangannya laris. Dalam hadits lain disebutkan, "Sesungguhnya para pedagang itu adalah pendur-haka." Mereka berkata, "Ya, Rasulullah! Bukankah dihalalkan berjual beli?" Nabi menjawab, "Benar, tetapi mereka terlalu mudah bersumpah sehingga mereka berdosa dan terlalu banyak berbicara sehingga mereka mudah berbohong.” (HR Ahmad dari Abdul Rahman).

Pada zaman sekarang, untuk mempromosikan komoditi dagangannya, orang menggunakan sarana iklan. Dan kenyataan membuktikan, pengaruh iklan lebih besar daripada pengaruh keimanan di dalam hati manusia.

Dewasa ini, umat manusia banyak dikelabui oleh iklan yang memikat, baik yang disampaikan dalam bentuk tulisan, lisan, maupun gambar. Karena gencar-nya promosi melalui iklan, akhirnya seseorang membeli barang yang sama sekali tidak dibutuhkannya, bahkan sebenarnya ia tidak sanggup membelinya. Manu­sia juga kadang-kadang membeli barang sampai pada tingkat berani berutang atau membayar dengan cicilan. ,

Di dalam atsar (sunnah), disebutkan bahwa ciri pedagang yang lurus ada­lah: "Mereka adalah orang-orang yang jika menjual tidak memuji barang da­gangannya dan jika membeli tidak mencela barang beliannya." Bandingkanlah ciri ini dengan kebiasaan orang-orang yang sering memuji-muji barang da­gangannya lewat iklan dan promosi.

2. Menepati Amanat

Menepati amanat merupakan moral yang mulia. Allah menggambarkan orang mukmin yang beruntung dengan perkataan-Nya: "Dan orang-orang yang memelihara amanat-amanat (yang dipikulnya dan janjinya)." (QS Al-Mukmin : 8)

Dalam hadits sahihain, Nabi bersabda, "Tiga golongan yang termasuk munafik meskipun ia berpuasa, shalat, dan mengaku muslim yaitu jika berbicara ia berbohong, jika berjanji ia tidak menepati, dan jika diamanatkan ia ber­khianat." Dan Allah tidak suka orang-orang yang berkhianat dan tak merestui tipu dayanya.

Maksud amanat adalah mengembalikan hak apa saja kepada pemiliknya, tidak mengambil sesuatu melebihi haknya dan tidak mengurangi hak orang lain, baik berupa harga atau upah. Allah berfirman: "Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya.” (QS an-Nisa’ : 58)

Amanat bertambah penting pada saat seseorang membentuk serikat da-gang, melakukan bagi hasil (mudharabah), atau wakalah (menitipkan barang untuk menjalankan proyek yang telah disepakati bersama). Dalam hal ini, pihak yang lain percaya dan memegang janji demi kemaslahatan bersama. Jika salah satu pihak menjalankannya hanya demi kemaslahatan pihaknya, maka ia telah berkhianat.

Di dalam hadits Qudsi, Allah berfirman: "Aku adalah yang ketiga dari dua orang yang berserikat, selama salah satu dari keduanya tidak mengkhianati rcmannya. Apabila salah satu dari keduanya berkhianat, Aku keluar dari mereka."(HR Abu Daud)

3. Jujur (Setia)

Selain benar dan memegang amanat, seorang pedagang harus berlaku jujur, dilandasi keinginan agar orang lain mendapatkan kebaikan dan kebahagia-an sebagaimana ia menginginkannya dengan cara menjelaskan cacat barang dagangan yang dia ketahui dan yang tidak terlihat oleh pembeli.

a. Larangan Menyembunyikan Harga Kini

Tidak jauh dari sifat curang ialah menyembunyikan harga kini. Seyogyanya, pedagang bersikap jujur dalam menetapkan harga kini dan tidak menyembunyikannya. Nabi Muhammad sendiri melarang mencegat pembeli yang dalam perjalanan menuju pasar.

Nabi bersabda:

Jangan kamu mencegat para pedagang di tengahjalan. Pemilik barang berhak memilih setelah sampai pasar, apakah ia menjual kepada mereka yang mencegat atau kepada orangyang ada di pasar.” (HR Mutafaqqun alaih)

Menurut Imam Ghazali, pelarangan ini menunjukkan bahwa para pembeli dan penjual tidak boleh meyembunyikan harga pasar.

b. Larangan Melipat Harga dalam Jual Beli

Menurut Imam Ghazali, dilarang melipat gandakan harga dalam jual beli dalam kebiasaan yang berlaku. Pada dasarnya pelipatan harga dibolehkan karena jual beli adalah aktivitas untuk mendapatkan keuntungan. Hal itu tidak terlepas dari unsur menjual barang dengan menaikkan harganya. Jika pembeli menambah harga suatu barang karena senangnya terhadap barang itu atau karena ia sangat membutuhkannya, maka penjual harus mencegahnya, dan hal itu termasuk ihsan. Kalau bukan menyelubungi kebenaran maka mengambil lebih dari harga yang ditentukan bukan perbuatan zalim.

C. Sikap Adil Dan Haramnya Bunga (Riba)

1. Adil

Menurut Islam, adil merupakan norma paling utama dalam seluruh aspek perekonomian. Hal itu dapat kita tangkap dalam pesan Al-Qur'an yang men-jadikan adil sebagai tujuan agama samawi. Bahkan, adil adalah salah satu asma Allah. Kebalikan sifat adil adalah zalim, yaitu sifat yang dilarang Allah pada diri-Nya sebagaimana dilarang dalam firman-Nya pada hamba-Nya: "Wahai hamba-hamba-Ku, Aku melarang kezaliman pada diri-Ku dan Aku haramkan juga antara kamu, maka janganlah kamu saling menzalimi."

Allah menyukai orang yang bersikap adil dan sangat memusuhi kezaliman, bahkan melaknatnya: "Ingatlah, kutukan Allah (ditimpakan) atas orang-orang yang zalim.”( QS Hud : 18)

Oleh sebab itu, Islam mencegah bai'ul gharar karena ketidaktahuan terhadap kondisi suatu barang itu merugikan satu pihak dan bisa menimbulkan tindakan zalim. Demikian pula, dilarang mengadakan muamalah yang di dalamnya terdapat unsur penipuan.

2. Haramnya Riba

Di antara tanda keadilan adalah haramnya bermuamalah dengan riba. Al-Qur'an mengisyaratkan bahwa Allah dan Rasul-Nya memerangi pelaku-pelakunya. "Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan ting-galkanlah sisa riba (yang belum dipungut) jika kamu orang-orang yang beriman. Maka jika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba) maka ketahuilah bahwa Allah dan Rasul-Nya akan memerangi kamu. Dan jika kamu bertobat (dari pengambilan riba) maka bagimu pokok hartamu kamu tidak menganiaya dan tidak pula dianiaya.” (QS Al-Baqarah : 279)

Ayat ini membuktikan bahwa dasar pelarangan riba ialah terdapatnya unsur kezaliman pada kedua belah pihak. Maka dengan di-hapuskannya riba, kezaliman itu hilang sebagaimana dinyatakan oleh ayat itu, "tidak menganiaya dan tidak pula dianiaya."

3. Menyempurnakan Timbangan dan Takaran

Salah satu cermin keadilan adalah menyempurnakan timbangan dan takar­an. Inilah yang sering diulang di dalam Al-Qur'an. "Dan sempurnakanlah takaran apabila kamu menakar, dan timbanglah dengan neraca yang benar, Itulah lebih utama bagiinu dan baik akibatnya.” (QS al-Isra’ : 35)

4. Mengurangi Hak Manusia

Nabi Syuaib juga memperingatkan mereka agar tidak mengurangi hak manusia. Ini merupakan salah satu cacat pasar, yang timbul karena sifat egois dan diliputi oleh perbuatan kezaliman.

5. Pemaksaan atas Harga yang Tidak Disepakati

Salah satu ciri keadilan adalah tidak memaksa manusia membeli barang dengan harga tertentu jika mekanisme pasar berjalan normal. Tidak boleh ada monopoli di dalam pasar, tidak boleh ada permainan harga, serta tidak boleh ada cengkeraman yang bermodal kuat terhadap orang kecil yang lemah. Jika sebagian barang melonjak harganya karena jumlahnya terbatas atau karena banyaknya permintaan, maka sesuai dengan "hukum penawaran dan perminta-an", pada saat itu pasar diserahkan pada keputusan yang adil dan wajar.

6. Mengulur Pembayaran Utang

Islam juga mewajibkan sikap adil dengan melunasi utang jika sudah sang-gup membayarnya, agar terlepas tanggung jawabnya. Jika seseorang mampu membayar utang tetapi ia tidak melakukannya maka ia bertindak zalim dan ber-hak menerima sanksi, di dunia maupun di akhirat. Sabda Nabi saw.: "Penundaan pembayaran utang oleh orang kaya adalah kezaliman.” (HR. Jamaah dari Abu Hurairah)

Adapun sanksi yang diterimanya di dunia ini, Nabi saw. bersabda: Orang kaya yang menangguhkan pembayaran utangnya patut diumumkan (dicemarkan nama baiknya) dan dihukum. (HR Ahmad)

D. Kasih Sayang

Di sini, Islam mewajibkan mengasih sayangi manusia dan seorang pedagang jangan hendaknya perhatian utamanya dan tujuan usahanya untuk mengeruk keuntungan sebesar-besarnya.

Islam ingin menegakkan di bawah naungan norma pasar. Kemanusiaan yang besar menghormati yang kecil, yang kuat membantu yang lemah, yang bodoh belajar dari yang pintar, dan manusia menentang kezaliman.

Menurut pandangan materialisme dan kapitalisme, pasar tidak lebih dari-pada hutan mini, tempat yang kuat menerkam yang lemah, yang perkasa meng-injak yang tidak berdaya, dan kejayaan hanya milik mereka yang kuat dan berani membunuh, bukan milik yang terbaik dan yang mulia.


E. Menumbuhkan Toleransi, Persaudaraan, Dan Sedekah

1. Toleransi

Salah satu moral terpuji ialah sikap toleran dan menjauhkan praktik eksploitasi. Tindakan eksploitasi banyak mewarnai dunia perdagangan, terutama perdagangan yang berada di bawah naungan kapitalis.

Dari sini dapat disimpulkan bahwa mengembalikan utang dengan jumlah lebih banyak daripada jumlah pinjaman adalah hal yang baik dan terpuji karena termasuk akhlak yang mulia.

Mengundurkan waktu penagihan utang termasuk sikap toleran, yang memberikan kesempatan kepada pengutang untuk melunasinya dengan sem-purna. Allah berfirman: "Dan jika (orang berutang itu) dalam kesukaran, maka berilah tangguh sampai dia berkelapangan dan menyedekahkan sebagian atas semua utang itu, lebih baik bagimu, jika kamu mengetahui."(QS Al-Baqarah : 280) "Barang siapa meringankan kesulitan seorang di dunia, niscaya Allah akan meringankan kesulitannya di dunia dan di akhirat.” (HR. Abu Hurairah)

2. Menjaga Hak-hak Orang Lain

Salah satu etika yang harus dijaga adalah menjaga hak orang lain demi terpeliharanya persaudaraan. Jika individu dalam sistem kapitalis tidak meng­indahkan hal-hal yang berkaitan dengan etika seperti tidak mengindahkan perasaan orang lain, tidak mengenal akhlak dalam bidang ekonomi, dan hanya mengejar keuntungan, maka sebaliknya, Islam sangat memperhatikannya.

3. Sedekah yang Sebenarnya

Islam menganjurkan kepada pedagang agar mereka bersedekah semam-punya untuk membersihkan pergaulan mereka dari tipu daya, sumpah palsu, dan kebohongan.

Nabi berkata, "Wahai, para pedagang! Sesungguhnya jual beli diiringi tipu daya dan sumpah palsu maka jernihkanlah lewat sedekah."

3. POTENSI DAN PELUANG RITEL SYARI’AH

John Naisbitt dalam bukunya, Megatrends 2000, pernah mengungkapkan bahwa abad ke-21 merupakan abad kebangkitan agama milenium baru (The Age of Religion). Berikut ini kutipan dari John Naisbitt:

"In turbulent times, in times of great change, people head for the two extremes: fundamentalism and personal, spiritual experience ...With no membership lists or even a coherent philosophy or dogma, it is difficult to define . or measure the unorganized New Age movement. But, in every major U.S. and European city, thousands who seek insight and personal growth cluster around a metaphy­sical bookstore, a spiritual teacher, or an education center."

Bagi umat beragama, globalisasi harus dipandang sebagai membawa ba­nyak manfaat dan peluang dengan terus belajar untuk tidak meninggalkan identitas. Karena itulah, terlihat umat Islam mulai menerapkan perekonomian secara syariah.

Perekonomian Islam dimulai dengan kehadiran perbankan syariah sebagai lembaga keuangan yang berlandaskan etika, dengan dasar Al-Quran dan Al-Hadis. Salah satu tonggak utama berdirinya perbankan syariah ini adalah dengan beroperasinya Mit Ghamr Local Saving Bank pada 1963 di Kairo, Mesir. Saat ini lembaga atau institusi keuangan sya­riah berkembang secara pesat dan bahkan lembaga keuangan konvensional yang notabene mengadopsi sistem kapitalisme juga mengakui sistem syariah dan menerapkannya dengan membuka unit-unit syariah.

Dalam perkembangannya di Indonesia, lahirnya lembaga syariah diawali dengan berdirinya Bank Muamalat Indonesia di tahun 1992 diikuti –yaitu pada 2005- dengan lembaga syari’ah lainnya seperti Asuransi Syariah, Reksa-dana Syariah, Pegadaian Syariah, serta bahkan Properti dan Hotel Syariah. Dalam dunia ritel, juga telah berdiri Super Market Madinah Syariah yang oleh Museum Rekor Dunia Indonesia dicatat sebagai Super Market Syariah Pertama di Indonesia.

Perkembangan sistem ekonomi syariah ini cukup menjadi bukti bahwa masyarakat yang hidup di era globalisasi saat ini rindu kepada ketenteraman dalam menjalani kegiatan ekonomi. Walhasil dapat kita lihat adanya perubahan yang membawa masyarakat kembali pada nilai-nilai etika, yang dalam hal ini menimbulkan paradoks antara kehidupan dunia dan kehidupan akhirat.

Di tengah situasi serta kondisi persaingan usaha yang semakin ketat, perusahaan harus merenungkan kembali prinsip-prinsip dasar perusahaannya. Perusahaan-perusahaan besar yang sukses di abad ke-21 ini umumnya dapat mendeteksi per­ubahan yang terjadi di pasar dan bagaimana mereka tetap konsisten untuk menjalankan nilai-nilai dan prin­sip dasar perusahaannya. Sebut saja sebagai contoh General Electric, di bawah kepemimpinan Jack Welch, berhasil menoreh sejarah sebagai salah satu perusahaan yang sukses karena prin­sip dasar perusahaan yang dianutnya. Prinsip mereka terkenal dengan nama "GE Way", dengan nilai-nilai sebagai berikut:

GE Leaders ... Always with Unyielding Integrity:

· Have a Passion for Excellence and Hate Bureaucracy

· Are Open to Ideas from Anywhere ... and Commit­ted to Work-Out

· Live Quality ... and Drive Cost and Speed for Competitive Edge

· Have the Self-Confidence to Involve Everyone and Behave in a Boundaryless Fashion

· Create a Clear, Simple, Reality-Based Vision ... and Communicate it to All Constituencies

· Have Enormous Energy and the Ability to energize Others

· Stretch ... Set Aggressive Goals ... Reward Progress ... Yet Understand Accountability and Commitment

· See Change as Opportunity ... Not Threat

· Have Global Brains ... and Build Diverse and Global Teams

Pesan-pesan dari visi dan misi Jack Welch disampaikan di setiap kesempatan : di dalam RUPS, pidato-pidato di depan dewan komisaris dan direksi, dan bahkan di setiap pembicaraannya. Namun, yang menjadi kunci utama adalah ketika ia membuat buku GE Values yang berukuran kecil sebesar dompet sehingga setiap karyawan dapat membawanya ke mana pun ia pergi. Jack Welch berkata, "There isn't a human being in GE that wouldn't have the Values Guide with them. In their wallet, in their purse. It means everything and we live it And we remove people who don't have those values, even when they post great results."

Dengan menerapkan GE Values secara konsisten dan menyeluruh di perusahaannya, Jack Welch telah berhasil membawa perusahaannya mencapai kejayaan. Ia berhasil menjadi pemimpin yang dikagumi di seluruh dunia dan menjadi contoh bagi para pemimpin perusahaan besar lainnya. Bagi Jack Welch, perubahan yang terjadi dalam kehidupan bukanlah sesuatu yang harus ditakuti walau dalam kenyataannya banyak manajer perusahaan takut akan perubahan dan merasa aman dengan kondisi di mana mereka merasa nyaman.

"Change is a big part of the reality of business. Take the business environment—it's constantly changing. New competitors. New products. Any business that ignores these facts is doomed to collapse."

Selanjutnya gagasan ritel syariah ini juga suatu hal yang dipandang sebagai diferensiasi sedang diferensiasi merupakan komponen pembentuk keunggulan perusahaan. Diferensiasi didefinisikan sebagai tindakan merancang seperangkat perbedaan yang bermakna dalam tawaran perusahaan. Namun, penawaran ini bukan berarti janji-janji belaka saja, melainkan harus didukung oleh bentuk yang nyata.

Dalam perusahaan syariah, sudah pasti diferensiasi yang terbentuk adalah dari content prinsip-prinsip sya­riah. Memang, dengan menawarkan produk syariah, perusahaan harus meng-customized infrastruktur yang diperlukan. Sebagai contoh, untuk mendukung transparansi dan kejujuran, perusahaan syariah harus membuat Standard Operating Procedure dan menjalankan reward dan punishment dengan benar terhadap sumber daya manusia yang menjalankannya. Tentu hal ini tidaklah cukup. Perusahaan harus berkreasi dalam merancang perbedaan yang bisa memberikan value-added bagi konsumennya. Untuk menyebutnya sebagai contoh –di Madinah Syariah Super Market selalu memberikan edukasi kepada konsumen -misalnya berupa larangan untuk tidak membeli barang-barang yang tidak benar-benar diperlukan konsumen karena hal tersebut dinilai sebagai sikap pemborosan. Sesuatu paradoks dari praktek impulse buying yang dijalankan oleh ritel konvensional.

Beberapa hal yang telah disebutkan di atas –apalagi mengingat bahwa mayoritas penduduk negeri ini beragama Islam- merupakan potensi dan peluang yang harus segera direspons para pelaku bisnis ritel. Pertanyaan yang mungkin mengusik selanjutnya adalah : Apakah pasar non muslim akan tetap mau berbelanja ketika bisnis ritel tersebut diusung dengan konsep syariah ? Sebagai pengelola Super Market Syariah penulis dapat menjawab bahwa ternyata konsumen yang datang berbelanja ke Madinah Syariah datang dari berbagai ragam suku dan agama.


BAB III

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan

1. Dengan menganalisis nilai-nilai dan prinsip syari’ah yang dapat diimplementasikan dalam operasionalisasi ritel syari’ah, secara intrinsik ia memiliki potensi yang cukup besar dalam memberikan solusi alternatif bagi ritel modern agar keberadaannya tidak menjadi ancaman bagi keberadaan pasar tradisional.

2. Konsep ritel syari’ah sekaligus merupakan upaya untuk mendukung pelaksanaan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1999 Tentang Larangan Praktek Monopoli Dan Persaingan Usaha Tidak Sehat sehingga upaya pemerintah membendung ekspansi ritel modern lewat Perpres Pasar Ritel Modern yang dinilai oleh KPPU melanggar UU No. 5 tahun 1999 menjadi tidak relevan lagi.

3. Sebagai penjelmaan konsep kasih sayang dalam berusaha maka konsep syari’ah bersesuaian dengan semangat Perpres No. 112/2007 tentang Penataan dan Pembinaan Pasar Tradisional dimana toko modern dan pusat belanja wajib melakukan kemitraan dengan usaha kecil.

4. Jumlah penduduk Indonesia yang mayoritas beragama Islam merupakan potensi sekaligus peluang dalam pengembangan konsep ritel syari’ah terlebih-lebih melihat gejala masyarakat global yang telah mulai mempertimbangkan aspek spiritual dalam menggunakan barang dan jasa.

5. Konsep ritel syari’ah dapat dipahami sebagai diferensiasi usaha dan diferensiasi merupakan taktik untuk “memenangkan persaingan”.

Saran

1. Pengembangan sektor riil akan memberikan dampak yang luar biasa terhadap kondisi perekonomian secara keseluruhan. Oleh karenanya perhatian untuk segera merumuskan konsep syariah di sektor riil ini –antara lain di bidang ritel- menjadi sangat urgen.

2. Mengingat salah satu fungsi bank syariah adalah sebagai manajer investasi maka bank syariah dapat juga berperan dalam mengembangkan konsep ritel syariah ini melalui pembiayan mudharabah/musyarakah. Hal ini cukup beralasan karena bisnis ritel merupakan bisnis yang akan terus menjanjikan di masa depan.