Senin, 25 Februari 2008

Membumikan Ekonomi Syariah

MEMBUMIKAN SISTEM EKONOMI SYARI’AH[1]

Oleh :
Ahsanul Fuad Saragih[2]


Pengantar

Sebagai Muslim, sebagai orang yang tertindas atau orang yang merasa terpinggirkan (petani, buruh, nelayan, muslim) sudah selayaknya kita menolak secara terus menerus penerapan konsep dan sistem ekonomi kapitalis karena telah terbukti merugikan alam, umat, hubungan antara manusia, masa depan kita serta kehidupan setelah dunia ini. Sebenarnya resistensi terhadap ekonomi kapitalis ini sudah lama mulai dari Karl Marx, penganut sosialis dan akhir-akhir ini umat Islam.

Islam sebagai “way of life” yang mengatur semua segi kehidupan juga memiliki filosofi dan konsep ekonomi yang sesuai dengan tuntutan Allah dan dipraktikkan oleh Nabi Muhammad SAW beserta para sahabatnya. Output dari penerapan ekonomi berdasarkan tuntutan Allah SWT ini telah membuktikan lahirnya masyarakat madani yang marhamah material dan spiritual. Sehinga Quran menyebutnya sebagai “khaira ummat, atau ummatan washatan”. Apakah kita masih bisa mewujudkan masyarakat seperti ini ? Jawabannya bergantung sampai sejauh mana kesediaan kita untuk mengambil tugas dalam mewujudkannya –tentunya sesuai dengan keahlian dan kemampuan masing-masing. Tugas itu harus dimulai dari diri sendiri, dari yang kecil, dari saat ini juga, demikian papar Abdullah Gymnastiar ketika berbicara mengenai strategi untuk berubah.

Ada apa dengan Ekonomi Kapitalis

Tak ada keraguan bahwa ilmu ekonomi konvensional telah mencapai tingkat sofistikasi intelektual yang sangat besar. Namun bukanlah sofistikasi suatu disiplin yang diinginkan oleh manusia. Mereka lebih menginginkan bagaimana ilmu itu dapat membantu umat manusia merealisasikan sasaran-sasaran humanitariannya, yang ada di setiap kepala orang adalah keadilan dan kesejahteraan umum. Di sinilah ilmu ekonomi konvensional gagal. Mengapa demikian ? Jawabannya barangkali terletak pada anatemanya terhadap penilaian (value judgement) dan penekanan yang berlebihan pada maksimalisasi kekayaan dan pemuasan keinginan serta pengumbaran kepentingan diri sendiri individual. Sejauh yang dikaitkan dengan kepentingan sosial, para ekonom konvensional pada umumnya menganggap bahwa persaingan akan membantu menggerakkan kepentingan diri sendiri dan pada gilirannya memenuhi kepentingan sosial.

Di sinilah timbul pertanyaan apakah maksimalisasi kekayaan dan pemuasan keinginan adalah hal yang benar-benar diperlukan untuk mengoptimalkan kesejahteraan umat manusia atau masih juga diperlukan adanya kedamaian mental dan kebahagiaan, solidaritas sosial dan keluarga, pengasuhan yang mencukupi bagi anak-anak, pemenuhan kebutuhan pokok bagi semua individu dalam masyarakat, dan distribusi kekayaan yang adil. Jika semua masalah ini penting, persoalannya adalah apakah pelampiasan kepentingan diri oleh tiap-tiap individu secara otomatis akan membantu realisasinya.

Upaya untuk melayani kepentingan diri sendiri tanpa kontrol moral pada gilirannya akan menghancurkan masyarakat. Ini disebabkan bukan hanya pasar di mana manusia saling berinteraksi satu sama lain, melainkan juga dalam keluarga, masyarakat, dan pemerintah. Manusia merupakan faktor yang paling penting dalam pasar dan satu-satunya sumber bagi faktor ini adalah keluarga. Input manusia akan cenderung baik hanya jika lembaga keluarga beroperasi secara efektif dan tetap terintegrasi. Ini hanya mungkin jika terdapat cinta dan kasih sayang antara suami dan isteri. Cinta dan kasih sayang meningkat jika suami dan isteri bersedia memberikan pengobanan yang besar bagi kebahagiaan yang lain. Nilai-nilai morallah yang memotivasi orang untuk melakukan pengorbanan demikian. Ilmu ekonomi konvensional yang memberikan penekanan berlebihan pada pengumbaran nafsu diri sendiri, tidak memiliki ruang dalam analisisnya bagi pengorbanan demikian. Oleh karena itu, disintegrasi keluarga kini sedang menggejala dengan cepat di sejumlah negara yang mengabdi pada budaya materialis.

Oleh karena itu, ngototnya ilmu ekonomi konvensional untuk hanya mengambil variabel-variabel ekonomi dalam menjelaskan jatuh bangunnya suatu masyarakat sangatlah tidak sehat. Di samping variabel-variabel ekonomi, perlu juga memasukkan faktor-faktor moral psikologis, sosial, politik, dan sejarah yang berpengaruh terhadap manusia. Ini akan menuntut suatu pendekatan lintas disiplin. Tentu saja ini akan lebih sulit, namun akan lebih berguna karena memungkinkan kita menjelaskan sejumlah fenomena yang tidak dapat dijelaskan oleh ilmu ekonomi konvensional.

Berkaitan dengan dengan Kapitalisme Sayed Nawab Haider Naqwi menyebutkan bahwa :

1. Kapitalisme gagal mengejewantahkan kesatuan kehidupan dengan penekanan yang belebihan pada nilai material manusia dngan mengorbankan dimensi spiritualitasnya.

2. Kapitalisme merusak keseimbangan alam dengan terpusatnya kekayaan pada segelintir orang.

3. Kapitalisme sangat menekan pemilikan individu secara mutlak dan menafikan kemutlakan pemilikan Tuhan.

4. Kapitalisme tidak memperhatikan tanggungjawab kolektif (sosial).

Sedang menurut Syahid Muhammad Baqir Ash-Shadr , kapitalisme adalah suatu sistem yang ultra matrialisme yang hanya mementingkan keuntungan-keuntungan material semata dan mengasingkan manusia dari agama dan kerohanaain. Lebih lanjut Baqir Ash-Shadr menyebut keburukan kapitalisme adalah berkuasanya kaum mayoritas atas minoritas. Lebih dari itu kaum borjuis juga mengeksploitasi kelas proletar. Kaum kapitalis melihat segala sesuatunya dari sudut materialisme dan mengabaikan aspek moral.

Apakah Ekonomi Islam Itu ?

Sebelum menjelaskan apa ekonomi Islam itu perlu diajukan sebuah pertanyaan : ” Apakah ada suatu mazhab ekonomi dalam Islam ?” Ini kajian tentang sebuah pertanyaan beserta jawabannya. Jawaban kita terhadap pertanyaan di atas adalah, ya.

Suatu mazhab ekonomi bertujuan meletakkan suatu kebijakan bagi pengaturan kehidupan ekonomi atas dasar yang adil. Oleh sebab itu bila kita mempertanyakan apakah ada suatu mazhab ekonomi dalam Islam, kita hendak mengetahui apakah Islam telah meletakkan suatu kebijakan untuk mengatur kehidupan ekonomi dalam masyarakat manusia seperti yang dilakukan kapitalisme, misalnya, ketika ia menyatakan kebijakan umum kehidupan ekonominya pada dasar ekonomi bebas. Mengapa ini Dipertanyakan ? Kita memerlukan jawaban atas pertanyaan ini karena beberapa alasan, barangkali yang paling penting dari padanya ialah fakta bahwa Islam mencela kapitalisme maupun marxisme, yaitu dua sistem yang berkuasa di dunia hari ini. Tentu saja kaum Muslimin mengharapkan Islam memproduksi suatu sistem yang khas bagi mereka. Bagaimanapun, umat Islam, seperti masyarakat lainnya, memerlukan suatu kebijakan ekonomi.

Kembali ke pangkal pertanyaan. Apakah Ekonomi Islam itu ? Ekonomi Islam adalah ekonomi yang berdasarkan ketuhanan. Sistem ini bertitik tolak dari Allah, bertujuan akhir kepada Allah, dan menggunakan sarana yang tidak lepas dari syariat Allah.

Aktifitas ekonomi seperti – produksi, distribusi, konsumsi, impor, ekspor tidak lepas dari titik tolak ketuhanan dan bertujuan akhir untuk Tuhan. Kalau seorang muslim bekerja dalam bidang produksi maka itu tidak lain karena ingin memenuhi perintah Allah.

”Dialah yang menjadikan bumi ini mudah bagi kamu. Maka berjalanlah di segala penjurunya dan makanlah sebagian dari rezekiNya dan hanya kepadaNyalah kamu (kembali setelah) dibangkitkan.” (Al-Mulk : 15)

Ketika menanam, seorang muslim merasa bahwa yang ia kerjakan adalah ibadah karena Allah. Begitu juga ketika ia sdang membajak, menganyam, ataupun berdagang. Makin tekun ia bekerja, makin takwa ia kepada Allah, bertambah rapi pekerjaannya, bertambah dekat ia kepadaNya.

Ketika ia menggunakan atau menikmati sesuatu di dunia ini, secara tidak langsung ia juga telah beribadah dan memenuhi perintah Tuhan.

”Hai sekalian manusia, makanlah yang halal lagi baik dari apa yang terdapat di bumi... ” (al-Baqarah : 168)

Ia memanfaatkan kenikmatan dunia ini secukupnya, tidak berlebihan, dan tidak juga terlalu mengikat pinggang. Sikap ”pertengahan” ini tidak disia-siakan Allah, bahkan dinilai sebagai suatu ketaatan kepadaNya.

”Hai anak Adam, pakailah pakaianmu yang indah di setiap (memasuki) mesjid, makanlah dan minumlah, serta janganlah berlebih-lebihan, sesungguhnya Allah tidak suka dengan orang yang berlebih-lebihan.” (al-A’raf : 31)

Ketika seorang muslim menikmati berbagai kebaikan, terbetik dalam hatinya bahwa semua itu adalah rezeki yang diberikan Allah kepada hambaNya. Maka merupakan suatu kewajiban bagi seorang muslim untuk menyukuri segala nikmat itu.

”Hai orang-orang yang beriman, makanlah di antara rezeki yang baik-baik yang Kami berikan kepadamu, dan bersyukurlah kepada Allah jika benar-benar hanya kepadaNyalah kamu menyembah.” (Al-Baqarah : 172)

Ketika seorang muslim hendak membeli dan menjual, menyimpan, dan meminjam, atau menginvestasikan uang, ia selalu berdiri pada batas-batas yang telah ditetapkan Allah. Ia tidak memakan uang haram, memonopoli milik rakyat, korupsi, mencuri, berjudi, atapun melakukan suap menyuap. Seorang muslim secara tegas menjauhi daerah yang diharamkan Allah, di samping berusaha semaksimal mungkin meninggalkan daerah syubhat.

Empat Landasan Filofis Ilmu Ekonomi Islam

Setidaknya ada empat landasan filosofis ilmu ekonomi Islam yang merupakan paradigma yang membedakannya dari ilmu ekonomi konvensional. Landasan filosofis tersebut adalah, tauhid, keadilan dan keseimbangan, kebebasan dan tanggungjawab.

Pertama, tauhid. Tauhid adalah landasan filosofis yang paling fundamental bagi kehidupan manusia. Dalam pandangan dunia holistik ini, tauhid bukanlah hanya ajaran tentang kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa, tetapi lebih jauh mencakup pengaturan tentang sikap manusia terhadap Tuhan dan terhadap sumber-sumber daya baik manusia meupun alam sebagai ciptaan Tuhan Yang Maha Esa.

Manusia sebagai pelaku ekonomi hanyalah sekedar trustee (pemegang amanah). Oleh sebab itu, manusia harus mengikuti ketentuan Allah dalam segala aktifitasnya, termasuk aktifitas ekonomi. Ketentuan Allah yang harus dipatuhi dalam hal ini tidak hanya bersifat mekanistis dalam alam dan kehidupan sosial, tetapi juga yang bersifat etis dan moral (uluhiyah).

Penjabaran tentang implikasi ekonomis dari tauhid ini merupakan fokus utama sekaligus sebagai corak tersendiri dalam analisisis tentang ilmu ekonomi Islam. Sebagaimana diketahui dalam analisis ilmu ekonomi Islam, unit operasional terkecil bukanlah ”manusia ekonomi”, melainkan manusia sebagai agen langsung atau wakil Allah (khalifah) dalam proses penciptaannya.

Konsep khalifah, atau dalam pengertian pengelolaan disebut khilafah, menyediakan basis bagi sistem perekonomian dimana kerjasama dan gotong royong, atau yang disebut co-determinasi (Thoby Mutis), menggantikan kompetisi yang selama ini menjadi ciri dominan dalam proses interaksi ekonomi. Kalupun ada, kemungkinan hanya kompetisi pada tingkat keberhasilan yang berbeda dalam memperoleh materi. Seperti juga halnya dalam konsep kepemilikan, dimana kepemilikan dalam ekonomi Islam sebenarnya hanya merupakan pemeliharaan milik Tuhan, dan bukan hak mutlak perorangan. Konsep pengelolaan berarti bahwa mereka yang berhasil memperoleh kemakmuran haruslah tanpa mengorbankan orang lain, dan kemudian menggunakannnya untuk menolong sesama.

Dari beberapa penjelasan di atas dapat dilihat betapa konsep tauhid dalam Islam benar-benar memberikan implikasi ekonomis dalam aktifitas ekonomi Islam. Hal ini dapat juga dilihat secara langsung dari instrumen-instrumen ekonominya seperti zakat, infaq, sadaqah, penolakan terhadap riba yang pada dasarnya merupakan ajaran-ajaran Islam yang berbasis pada tauhid.

Kedua, keadilan dan keseimbangan. Keadilan dan keseimbangan ditegaskan dalam beberapa ayat al-Quran dan sekaligus menjadi dasar kesejahteraan hidup manusia. Oleh sebab itu, seluruh kebijaksaan dan kegiatan ekonomi harus dilandasi paham keadilan dan keseimbangan. Sistem ekonomi haruslah secara insrinsik membawa nilai keadilan dan keseimbangan. Keadilan dan keseimbangan seara alamiah dapat dilihat dari hukum dan tatanan yang harmonis alam semesta (sunnatullah). Walaupun demikian, keadilan dan keharmonisan bukanlah hanya karakteristik alami saja, melainkan sebagai suatu hal yang harus diperjuangkan keberadaannya di dalam kehidupan ini.

Dalam ekonomi Islam, keadailan dan keseimbangan harus tercermin pada terwujudnya pertumbuhan dan pemerataan ekonomi, sebab keduanya merupakan dua sisi dari satu entitas. Pembangunan dengan demikian bukan berarti pertumbuhan pendapatan secara nominal, melainkan juga distribusi pendapatan tersebut secara merata. Sumber daya pada hakikatnya adalah anugerah dari Allah, oleh karena itu tidak beralasan kalau kekayaan itu hanya terpusat pada segelintir orang saja.

Konsep keadilan Islam dalam pembagian pendapatan dan kekayaan bukanlah berarti bahwa setiap orang harus menerima imbalan sama persis tanpa mempertimbangkan kontribusinya kepada masyarakat. Islam membolehkan adanya perbedaan pendapatan, karena memang manusia diciptakan tidak sama watak, kemampuan (potensi) dan pengabdiannya kepada masyarakat.

Ada beberapa syarat yang menentukan terciptanya keseimbangan dan keadilan di tengah-tengah masyarakat, yaitu : pertama, hubungan-hubungan dasar antara konsumsi, distribusi dan produksi harus berhenti pada suatu keseimbangan tertentu demi menghindarkan pemusatan kekuasaan ekonomi dan bisnis dalam genggaman segelintir orang. Kedua, keadaan perekonomian yang tidak konsisten dalam distribusi pendapatan dan kekayaan harus ditolak, karena Islam menolak daur tertutup pendaptan dan kekayaan yang menajdi semakin menyempit (al-Quran 59 : 7). Ketiga, sebagai akibat dari pengaruh sikap egalitarian, maka dalam ekonomi Islam tidak mengakui adanya hak milik yang terbatas maupun sistem pasar yang bebas tak terkendali. Hal ini disebabkan bahwa ekonimi dalam pandangan Islam bertujuan untuk menciptakan keadilan sosial. Kualitas keseimbangan akan menguasai cakrawala ekonomi dalam ekonomi Islam dengan menyingkirkan struktur pasar yang eksploitatif maupun perilaku atomistik yang egois dari para agen ekonomi dan bisnis.

Ketiga, kebebasan. Kebebasan mengandung pengertian bahwa manusia beas melakukan seluruh aktifitas ekonomi sepanjang tidak ada ketentuan Tuhan yang melarangnya. Manusia mempunyai kebebasan untuk membuat suatu keputusan ekonomis yang berhubungan dengan pemenuhan kebutuhan hidupnya karena dengan kebebasan itu pula manusia dapat mengoptimalkan potensinya dengan melakukan inovasi-inovasi dalam kegiatan ekonomi.

Cukup beralasan jika di dalam fikih mu’amalah berlaku sebuah kaedah, pada dasarnya sebuah aktifitas mu’amalah itu diperbolehkan selama tidak ada dalil yang melarangnya. Konsekuensi dari kaedah ini adalah, dalam aktifitas mu’amalah (ekonomi Islam) manusia diberikan kebebasan yang seluas-luasnya untuk mengembangkan kreatifitasnya, melakukan inovasi-inovasi ekonomi sesuai dengan kebutuhan manusia (pasar) yang terus menerus mengalami perubahan.

Walaupun demikian di dalam ajran Islam makna kebebasan bukan dalam makna liberalisme, melainkan sangat terkait dengan niali tauhid dan pengaruhnya dalam membentuk kepribadian diri, karena segala sesuatu hanya dipertanggung-jawabkan sebagai pribadi di hadapan Allah. Sehingga dengan kebebasan yang bertanggungjawab itu pula akan melahirkan nilai pengabdian (ibadah) hamba kepada Allah sebagai pemilik dan pengusa alam semesta (the Creator of Universe).

Keempat, tanggung jawab. Pertanggungjawaban adalah konsekuensi logis dari kebebasan yang diberikan Allah kepada manusia. Kebebasan dalam mengelola sumber daya alam dan kebebasan dalam melakukan aktifitas ekonomi inilah yang sejatinya akan dipertanggungjawabkan manusia di hadapan Allah nantinya. Dalam al-Quran disebutkan bahwa salah satu makana amanah adalah kebebasan. Dengan kata lain, kebebasan itu sendiri adalah amanah Allah yang harus diimplementasikan manusia dalam aktifitas kehidupannya. Oleh karenanya, perlu ditetapkan batasan apa yang bebas dilakukan manusia dengan tetap bertanggung jawab atas semua yang dilakukannya.

Dari sini terlihat jelas bahwa aksioma kebeaan berhubungan erat dengan aksioma tanggungjawab, sementara tanggung jawab merupakan konsekuensi dari amanah yang diberikan kepada manusia sebagai khalifah Allah. Allah telah memberikan al-Quran sebagai pedoman bagaimana seharusnya manusia mengatur alam ini. Akhirnya manusia diharuskan bertanggung jawab terhadap tindakan apa yang dilakukan.

Pertanggungjawaban manusia ini dapat dipahami pada dua aspek, yaitu aspek transendental (transcendental accountability) dan aspek sosial (social accountability). Aspek transendental yang meyakini adanya hari pembalasan, atau juga sering disebut hari pembalasan (yaum al-hisab). Memiliki peranan penting dalam kehidupan seseorang yang harus mempertanggungjawabkan perbuatannya. Kaena orang yang sadar akan eksistensi hari pembalasan tersebut akan mampun mengartikulasikan kehidupannya dengan sikap dan perilaku yang baik.

Aspek sosial dari pertanggungjawaban merupakan sebuah keniscayaan dari konsekuensi logis manusia sebagai khalifah (trussttes) di muka bumi, sehingga dengan demikian pemahaman tentang doktrin accountability ini seharusnya tidak hanya terbatas dalam konteks spritual saja, melainkan juga harus mencakup proses yang lebih praktis dalam kehidupan sehari-hari.

Prinsip-prinsip ekonomi Islam yang telah diuraikan di atas merupakan bingkai yang melingkupi aktifitas ekonomi manusia. Selama manusia konsisten berjalan di atasnya, maka aktifitas ekonomi manusia akan berlangsung dalam suasana fair, tanpa ada eksploitasi dan bentuk-bentuk kecurangan lainnya. Inilah yang dimaksud dengan aktifitas ekonomi yang dilandasi nilai-nilai etika universal manusia. Setiap manusia tanpa membedakan agama, suku dan bangsa membutuhkan aktifitas ekonomi yang dilandasi nilai-nilai moral tersebut. Teraplikasinya secara tepat nilai-nilai secamam itulah pada akhirnya yang akan mengantarkan manusia dapat mencapai kesejahteraan sejati dalam cita-cita ekonomi Islam.

Tugas Kita Semua

Sebagaimana telah diuraikan di atas bahwa ekonomi kapitalis telah gagal merealisasikan tujuan-tujuannya untuk mensejahterakan manusia. Tentu juga tidak mudah untuk kemudian -dengan serta merta- menempatkan sistem ekonomi Islam sebagai sistem pengganti di Indonesia. Apalagi mengingat sejarah bangsa ini terlanjur tidak memberikan ruang bagi tumbuh dan berkembangnya syariah Islam di negeri tercinta ini. Ternyata hal ini terus berlangsung hingga saat ini. Sebut saja satu contoh tentang penolakan 56 anggota DPR RI terhadap Perda-Perda Syari’ah. Penolakan tersebut bisa terjadi karena phobia terhadap Islam. Untuk yang disebut terakhir tidak menjadi bahasan kita dalam kesempatan ini. Namun bisa saja penolakan-penolakan tersebut dikarenakan ketidakmengertian mereka tentang apa itu syari’ah.

Untuk itu sudah menjadi tugas kita dalam menyosialisasikannya dan memperjuangkannya. Bagaimanapun juga, tugas ini adalah tugas yang maha sulit. Ia menuntut upaya terkoordinasi (jamaah) dan lebih besar. Namun, tampaknya masyarakat sudah mulai siap secara emosional karena memiliki kepercayaan bahwa ekonomi Islam mampu memenuhi maslahat jangka panjang. Tentu masih segar diingatan kita bagaimana bank Muamalat mampu bertahan secara kokoh melewati krisis perbankan pada waktu itu. Fenomena ini menghenyakkan praktisi-praktisi ekonomi dan mulai melirik keberadaan sistem ekonomi Islam.

Justeru pemerintah yang menjadi kendala utama bagi terselenggaranya sistem ekonomi Islam karena mereka dikontrol oleh orang-orang yang mempunyai kepentingan. Sistem ekonomi Islam mengancam kepentingan jangka pendek mereka (meskipun tidak dengan sendirinya kepentingan jangka panjang mereka juga terancam).

Betapapun juga, pihak yang berkepentingan harus menyadari bahwa mereka tidak dapat menahan tarikan gravitasi gagasan-gagasan humnitarian Islam dari dukungan publik yang kuat. Gerakan pembaharuan Islam yang kini memperoleh mementum di negara-negara muslim akan bergerak cepat dan menghadapi semua kekuatan perlawanan. Karena itu, kelompok yang berkepentingan pasti akan tersapu bersih seperti yang diprediksi oleh al-Quran, ”Adapun buih, ia akan hilang bagai sesuatu yang tidak berguna, dan adapun yang memberi manfaat kepada manusia, maka ia akan tetap tinggal di bumi (ar-Ra’d : 17).

Penutup

Di barisan manakah kita dalam perjuangan ini ? dan sudah di tangga ke berapakah kita dalam membumikan ekonomi Islam di Indonesia ? Mari kita mulai dengan IBDA’ BINAFSIK.



[1] Disampaikan dalam forum diskusi terbatas “Forum Diskusi Insan Cita” tanggal 7 Desember 2007

[2] Penulis adalah praktisi ekonomi syariah yang saat ini menjabat sebagai Operation and Bussiness Development PT. MBI, Mahasiswa Program Studi Ekonomi Syariah Pasca Sarjana IAIN Sumatera Utara.

2 komentar:

Mursalin Asbi mengatakan...

Bulan Sept-Okt 2008 ini ekonomi dunia goyang, termasuk jatuhnya index saham di Indonesia yang pada awalnya dimulai dari krisis keuangan di Amerika.
Bagaimana pendapat pak Ahsanul Fuad mengenai hal ini ? Apakah konsep ekonomi syariah dapat memberikan iklim ekonomi yag lebih baik ?

Dari Mursalin Asbi

Ahsanul Fuad mengatakan...

Pak Mursalin Asbi yang baik budi...Terima kasih atas kunjungan ke Blog saya. Untuk menjawab pertanyaan Bapak sengaja saya postingkan tulisan berjudul "Jangankan Tuhan, Anak Kecilpun Tahu Kalau Kita Semakin Terlihat Tolol Jika Tetap 'Berselingkuh' dengan US Dolar". Masukan2 Bapak saya nantikan untuk merapikan puzle2 pemikiran yang berserak. Semoga bermanfaat.. Wassalam Ahsanul Fuad Sani Saragih