Selasa, 14 Oktober 2008

Sekiranya Kita Semua Beragama

“Aku Dipanggil Bang Ustadz” :

Pesan Moral Mendisinikan Agama Di Tempat Bekerja

by : Ahsanul Fuad Saragih

Sekali waktu aku pernah disapa oleh seorang teman yang lebih muda dari aku "Bang Ustadz... Apa kabar ?” sapanya begitu akrab. Entah sudah beberapa kali dan untuk alasan apa dia memanggilku demikian. Tapi sejak saat itu aku “mempositioning”kan panggilan itu -setidaknya di corong micro phoneku pada tajuk acara live yang kuberi judul “Belanja Bareng Bersama Bang Ustadz”.

Panggilan abang, sapaan khas“Anak Medan”, sedang gelar Ustadz ditabalkan sejak nyerep Ustadz yang nggak jadi datang pada suatu acara Maulid yang panitianya anak-anak ABG. Demi menyelamatkan pamor anak-anak muda yang sudah keburu takut dimarahi kepling, akupun dibajak dan harus ngaku dan “terpaksa” mau dipanggil Ustadz. *)

Dua kata “Abang” dan “Ustadz” digabung menjadi satu. Jadilah : “BANG USTADZ”. “Si Abang Diterangkan Ustadz” atau “Si Ustadz Diterangkan Abang”. Selain karena aku tidak benar-benar seorang Ustadz sebagaimana gelar yang hanya diberikan kepada seorang Guru Besar semisal di Universitas Al-Azhar Cairo -lewat pendekatan semantik “Bang Ustadz” ini-, terselip sebuah pesan : “si Abang harus banyak mendengarkan nasehat si Ustadz” (karena aku masih muda dan kurang ilmu agama), “si Ustadz mau dinasehati si Abang”, karena memang banyak para Ustadz yang sakit hati kalau dinasehati anak muda apalagi tak berilmu. Lewat sapaan yang terlanjut telah melekat itu, aku ingin menyampaikan suatu pesan : "Agama itu tidak hanya ada di Mesjid, di "jenggot" para pengamal ibadah atau di "serban para Ustadz" tapi juga ada di pasar modal, di sawah, di proyek kantor gubernur sampai di pasar "inang-inang" penjual buah jengkol dan sayuran.

Berbagai bentuk kerusakan yang semakin banyak terlihat, semuanya berpangkal dari tidak hadirnya agama di tengah kehidupan masyarakat. Lihat saja bagaimana ulah para penyelenggara negara kita ini. Mulai dari satpamnya, pendidiknya, pengusahanya, birokratnya sampai kepada para penegak hukumnya sudah menghinakan dirinya dengan cara berselingkuh dengan amanah yang dipegangnya. Tidak ada rasa malu lagi. Karena urat syaraf malunya sudah putus. Menadahkan tangan meminta-minta uang, zaman dulu hanya dilakukan oleh seorang pengemis yang karena terpaksa harus memenuhi tuntutan perutnya. Saat ini pengemis itu semakin banyak. Beda pengemis jenis yang keluaran zaman ini, perawakan tubuhnya bersih karena tiap minggu dia keluar masuk salon untuk mandi susu. Orangnya necis karena dia berseragam dan berdasi. Orang semcam ini tujuan mengemisnya bukan untuk tujuan sejengkal perut, karena umumnya mereka punya anak yang sekolah di luar negeri, merk ballpointnya mount blanc, cincin di jari manisnya berhiasi permata zamrud. Semua asesoris yang disebut itu sengaja dipakai untuk menunjukkan kelasnya agar si penyuap bisa menyesuaikan isi kopernya. Belum lagi usai ceritanya. “Si pengemis” malah mampu memberi entertainment berupa makanan mewah, fasilitas antar jemput mobil dari bandara ke hotel plus bersama dayang-dayangnya. Semua itu dilakukannya kepada “klien-klien yang mau didamaikannya”. Tunggu dulu. Ini tentu bukan karena kebaikan hatinya. Itu dilakukannya untuk semacam investasi modal kerja agar “ROI” yang diperolehnya bisa melebihi keuntungan -bahkan semisal keuntungan bisnis pelacuran yang dikenal sudah paling tua sekalipun.

Kalau sudah demikian, siapa lagi yang kita harapkan dari penyelenggara Negara ini untuk mengurus fakir miskin dan anak-anak terlantar seperti amanah konstitusi Negara ini. Jawabannya : biarkanlah syetan yang mengurusnya. Itu jawabah kalau anda –yang bertepatan membaca artikel ini tidak mempunyai hati. Kalau ada yang masih punya hati, tentu dia akan segera bergegas menyingsingkan baju untuk membenahi kerusakan yang terlihat semakin parah di persada tanah air yang –konon kabarnya umatnya mengaku beragama.

*) Kisah pada alinea kedua hanya ilustratif

Orang Miskin Dilarang Protes

ORANG MISKIN DILARANG PROTES :

Catatan Ironi Di Tengah Peringatan Hari Kebangkitan Nasional

Oleh : Ahsanul Fuad Sani Saragih

ORANG MISKIN dilarang protes !! Mungkin itulah secuil kalimat sindiran yang paling tepat untuk menggambarkan jawaban pemerintah terhadap berbagai aksi protes rakyat terhadap lonjakan harga-harga kebutuhan hidup saat ini. Penderitaan rakyat ternyata belum lagi dirasa cukup karena harga kebutuhan hidup dipastikan meroket lagi menyusul keputusan pemerintah yang akan menaikkan harga BBM. Kepastian naiknya harga BBM diumumkan Pemerintah melalui Menko Ekonomi Boediono setelah rapat terbatas di Kantor Presiden Senin (5/5) lalu.

Jeritan perih perut rakyat yang mengalami busung lapar di berbagai daerah semakin menjadi sayup-sayup terdengar. Betapa tidak ! Karena syahwat hiruk pikuk pilpres 2009 lebih kedengaran seksi ketimbang bicara duduk bersama menyelesaikan persoalan yang mendera bangsa ini. Kalaupun sempat terbicarakan tak lebih sekedar ajang retorika politik atau menjadikannya sebagai komoditas dan alat untuk menyerang pemerintah. Lagi-lagi orang miskin menjadi komoditas.

Inilah sekelumit cerita ironi bangsa kita-yang mayoritas penduduknya, Presidennya, Menterinya sampai Kepala Lingkungannya umumnya diduga pernah membaca atau mengetahui surat Al-Ma’un. Surat yang memerintahkan manusia, dari Presiden sampai Kepala Lingkungan, dari orang kaya sampai orang yang bahkan tidak memiliki kelebihan apapun diminta untuk mempunyai sikap membela kepentingan orang-orang yang lemah. Untuk menyegarkan ingatan kita berikut ini diketengahkan ashbab an nuzul dari surat al-Ma’un tersebut.

Dalam beberapa riwayat, dikemukakan bahwa ada seseorang –yang diperselisihkan siapa dia, apakah Abu Sufyan atau Abu Jahal, al-‘Ash Ibn Walid atau selain mereka –konon setiap minggu menyembelih seekor unta. Suatu ketika, seorang anak yatim datang meminta sedikit daging yang telah disembelih itu namun bukannya malah diberinya bahkan ianya dihardik dan diusir. Peristiwa ini merupakan latar belakang turunnya ayat ini.

Pada surat tersebut Allah berfirman : “Tahukah kamu (orang) yang mendustakan agama ? itulah orang yang menghardik anak yatim, dan tidak menganjurkan memberi makan orang miskin”, demikian transletasi tiga bagian ayat pertama dari surat al-Ma’un. Pertanyaan yang diajukan ayat pertama ini tentu bukan bertujuan memperoleh jawaban, karena Allah Maha Mengetahui, tetapi bermaksud mengugah hati dan pikiran kita agar memperhatikan kandungan pembicaraan tersebut.

Deskripsi orang yang masuk kriteria sebagai pendusta agama sepintas bisa mengagetkan kita jika dibandingkan dengan pengertian iman secara tradisional. Tetapi itulah inti dan persoalannya. Hakikat pembenaran ad-Din bukannya ucapan dengan lidah, tetapi ia adalah perubahan dalam jiwa yang mendorong kepada kebaikan dan kebajikan terhadap saudara-saudara sekemanusiaan, terhadap mereka yang membutuhkan pelayan dan perlindungan. Allah tidak menghendaki dari manusia kalimat-kalimat yang dituturkan, tetapi yang dikehendakiNya adalah karya-karya nyata yang membenarkan kalimat yang diucapkan itu, demikian kurang lebih Sayyid Quthub dalam tafsir terkenalnya Fii Zhilal al Qur’an. Selanjutnya dapat diterangkan di sini bahwa walaupun ayat ini berbicara tentang anak yatim, namun maknanya dapat diperluas sehingga mencakup semua orang yang lemah dan membutuhkan pertolongan.

Kewajiban memberi pertolongan itu bisa ditelisik dari diksi kata yahudhdhu/menganjurkan. Lewat pemilihan diksi kata ini memberi isyarat bahwa mereka yang bahkan tidak memiliki kelebihan apapun tetap dituntut paling sedikit berperan sebagai “penganjur pemberi pangan”. Walhasil surah ini tidak memberi peluang sekecil apapun bagi setiap orang untuk tidak berpartisipasi dan merasakan betapa perhatian harus diberikan kepada setiap orang lemah dan membutuhkan bantuan.

Terkait dengan rencana kenaikan BBM, agaknya pemerintah perlu mereduksi ayat ini dalam mengambil keputusan. Permasalahan kelangkaan BBM, kenaikan harga bahan pokok dan segudang permasalahan yang mendera bangsa ini harus diukur dan diselesaikan dengan kunci jawaban yang diberikan Alquran. Perhatian dan pembelaan pemerintah terhadap rakyat miskin harus diprioritaskan apalagi mengingat amanah tersebut ada tercantum dalam konstitusional negara yaitu UUD 1945. Secara UUD saja, jika negara mengabaikan hal ini maka negara telah berkhianat terhadap UUD 1945 dan hal itu termasuk kejahatan konstitusional negara.

Tapi tentu tidak di sini tempatnya untuk semakin melebarkan persoalan. Sekarang mari kita kembali ke awal pembahasan. Coba saja kita mulai dengan mengamalkan 3 ayat di atas. Para ahli yang menyandang seabreg gelar itu tidak perlu lagi debat kusir soal bagaimana menutup deficit APBN. Solusinya ternyata hanya dengan mengamalkan 3 ayat Alquran. Sederhana bukan ? Ya. Memang sederhana kalau kita berkehendak tidak menyulitkan masalah. Permasalahan yang sekarang timbul sebenarnya justeru terletak pada ketika tidak adanya keinginan –khususnya pemimpin negeri ini- untuk mengembalikan persoalan ini kepada si ”Pemilik Urusan”. Padahal Allah berfirman dalam Surat Al-Baqarah ayat 210 : ”Wa ilallahi turja’ul umur” (”Dan kepada Allahlah tempat kembalinya segala persoalan”).

Dalam kenyataannya permasalahan bangsa ini hanya dirujuk kepada pendapat para pakar di berbagai bidang seperti ekonomi, hukum, politik. Tidak. Bukan begitu penyelesaiannya. Jawabannya ada pada keterangan Alquran. Kalaupun menggunakan teori-teori di atas bukannya tidak diperbolehkan –dan memang tidak mungkin sama sekali meninggalkannya karena kenyataannya Alquran tidak bicara hitungan per barel minyak. Yang tidak diperbolehkan ketika teori itu tidak dirujukkan kembali kepada keterangan ayat Allah. Perhatikanlah ayat Allah ini ! Dan barangsiapa yang taat kepada Allah dan Rasul-Nya dan takut kepada Allah dan bertaqwa kepada-Nya, maka mereka adalah orang-orang yang mendapat kemenangan”. (QS. 24:52).

Kesimpulannya ternyata sederhana. Kita harus taat kepada Allah dan RasulNya supaya kita menang. Jika ditafsirkan secara kontradiktif (mafhum mukhallafah) berarti ”kita tidak akan menang kalau tidak taat kepada Allah dan RasulNya.” Bukan malah taat pada IMF, Amerika dan kroni-kroninya. Tapi apa mau dikata. Indonesia sudah takluk di bawah klausula-klausula perjanjian dengan IMF. Klausula tersebut menempatkan IMF sebagai ”dokter” nomor wahid yang dipercaya bisa mengantarkan Indonesia mencapai pertumbuhan ekonomi seperti yang ditargetkan. Lazimnya sebagai seorang dokter maka IMF memberi secarik kertas resep yang di bagian bawah dari kertas resep tersebut tertulis kalimat :

”Anda tidak diperkenankan mengganti obat ini tanpa persetujuan dari dokter”.

Celakanya IMF tidak mengenal penyakit Indonesia. Dia hanya memberi aspirin sedang penyakit yang diindap adalah kanker ganas.

Salah satu resep yang diberikan tersebut adalah pencabutan subsidi BBM dan TDL dan pemerintahpun tak berkutik kecuali harus membayar resep tersebut. Salah satu dari sekian banyak ongkos untuk membayarnya adalah penderitaan rakyat kecil. Sebut saja berita yang dilansir media televisi beberapa waktu lalu. Di berbagai tempat seorang ibu tega membunuh anak kandungnya karena alasan khawatir akan masa depan anaknya yang suram. Tidak ada lagi akal sehat. Kalau rakyatnya kehilangan akal sehat itu menandakan karena para pemimpin negeri ini juga sudah kehilangan akal sehat. Bicara kehilangan akal sehat agaknya salah penyebabnya diduga dari berlakunga sistem ekonomi ribawi yang dirancang oleh mafia barceley yang menjabat menteri sekaligus sebagai antek-antek Amerika.

Allah SWT berfirman dalam Alquran surah Al-Baqarah ayat 275 : ”Orang-orang yang memakan (mengambil) riba tidak dapat verdiri melaikan seperti berdirinya orang yang kemasukan syetan lantara (tekanan) penyakit gila”. Ini dapat ditandai dengan semakin kalapnya pemimpin negeri ini, seolah-olah tidak tahu apalagi yang harus diperbuat persis sama seperti orang yang tidak sadar karena kerasukan syetan. Pada bagian ayat yang lain Allah berfirman dalam Alquran Surat Al-Baqarah ayat 279 : ”Maka jika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba) maka ketahuilah bahwa Allah dan rasulNya akan memerangimu” (QS 2 : 279). Jadi wajarlah bencana demi bencana datang bertubi-tubi. Kalau dipikir-pikir, jangankan diperangi Allah, diteror isteri simpanan saja pusingnya minta ampun.

Pada kesempatan ini tak ada salahnya peringatan 100 tahun Hari Kebangkitan Nasional kita peringati dengan mengkinikan lagi semangat pembebasan terhadap penjajahan bangsa Indonesia. Momentum peringatan Hari Kebangkitan Nasional sejatinya memberi energi bagi anak bangsa ini untuk lepas dari cengkeraman penjajahan koorporasi asing. Mumpung masih dalam suasana peringatan Hari Kebangkitan Nasional maka penulis usul kepada para pembaca agar perayaan Harkitnas tahun ini diisi dengan gerakan berjudul : ”GERAKAN MENSYAHADATKAN ORANG ISLAM”. Jika Presiden dan Menterinya sudah Islam, Polisi, Jaksa dan Pengacaranya sudah Islam dan tak ketinggalan Ustadz dan Ulamanya sudah ”masuk Islam kembali” maka insyaAllah, Allah akan menurunkan keberkahannya di persada bumi Indonesia ini. Seorang yang Islam berarti adalah seorang yang telah bersyahadat. Seorang bersyahadat sejatinya juga dia sebagai seorang yang bertauhid dan seorang yang bertauhid adalah seorang yang merdeka dari berbagai bentuk penjajahan dan keterjajahan. Orang yang bersyahadat juga adalah orang-orang yang berani termasuk berani mengubah sistem ekonomi kapitalis menjadi sistem ekonomi syariah yang berkeadilan (minadzh zhulamati ila an nur). Hentikan saling menyalahkan. Hentikan sikap merasa paling benar. Tak perlu menunjuk jari karena ”AKU”, ”ANDA”, ”DIA” dan ”KITA” adalah mungkin termasuk dalam daftar nama orang-orang yang perlu disyahadatkan kembali. Bukankah setiap satu jari ditunjuk ke orang lain empat jari lainnya menunjuk ANDA ? Wallahu a’lam bisshawab.